Saturday, May 23, 2009

sebelum terlambat


Pagi-pagi saya dapat sms dari ayah saya. Sebenarnya kata-katanya sederhana,
tapi entah kenapa kok batin saya agak sedikit berasa teriris-iris. Beliau
hanya menulis seperti ini, ‘Nak, sesibuk apapun kamu, tidakkah ada cerita
buat papa tentang keadaanmu? Bagaimanapun juga papa sudah lemah, dan hanya
ingin tau kesehatan anak-anaknya saja.’


Pertama kali saya baca, reaksi saya justru tertawa geli, saya pikir kok ayah
saya menggunakan bahasa yang sungguh baku. Lucu, dalam hati saya.

Trus kemudian saya balas sms ayah saya tersebut, ‘Baik-baik aja pah. Papah
jangan terlalu mikir yang macem-macem ya, doain aja anak-anaknya sehat.’

Singkat, padat, jelas, menurut saya.

Tidak lama, ayah saya membalas lagi, ‘Namanya orang tua ya nak, apalagi
punya anak perempuan terpisah jauh, gimana bisa papah tidak mikir. Papah
senang kamu sehat dan baik-baik aja, masih bisa kirim uang tiap bulan untuk
beli keperluan papah, tapi bukan itu aja yang papah inginkan. Yang paling
penting kalo bisa tiap minggu kasi kabar bagaimana keadaanmu dan jangan
sampai putus komunikasinya.’

Panjang dan lugas, batin saya.

Sesaat saya terdiam, bimbang, mau balas atau tidak.

Akhirnya saya cuma balas, ‘Iya pah, tiap minggu aku pasti sms untuk kasi
kabar deh.’

Setelah itu seperti biasa, saya letakkan ponsel saya di meja dan mulai
dengan aktifitas saya di kantor. Saya berusaha untuk tidak terlalu
memikirkan sms dari ayah saya tersebut. Saya pikir, mungkin ayah saya sedang
manja, jadi agak-agak berlebihan. Intinya, saya tidak ambil pusing deh. Biasalah, yang namanya ayah, mungkin lagi gak ada yang dikerjain, makanya sms anaknya sseperti itu..

Tapi entah kenapa, saya tidak bisa begitu saja lupa. Meski fisik saya sibuk
mondar-mandir kesana kemari, otak saya tetap mengarah ke sms itu.

Rasanya kok saya jadi orang yang agak egois, tidak pernah mau mengalah.
Memang, saya jarang sekali sms ato memberikan kabar kepada orang tua saya.
Kalau mereka sms duluan, baru saya balas, itupun kalau saya lagi rajin.
Kadang-kadang saya hanya baca, dan kemudian men-deletenya, tanpa punya
keinginan untuk membalasnya.

Padahal kalau dipikir, apa salahnya untuk saya memberi kabar kepada orang
tua, sekedar kabar kalau kita dalam keadaan baik-baik saja. Benar kata ayah
saya itu, mereka tidak akan cukup bahagia bila sebulan sekali dalam rekening
mereka ada tambahan saldo, tetapi tidak mendengar kabar dari anaknya.
Kebahagiaan mereka tidak terukur dalam bentuk materi semata. Sebagai anak, saya sudah merasa cukup bangga dengan hanya sekedar kirim uang tiap bulan. Tanpa pernah memikirkan perasaan orang tua saya. Selama ada tambahan saldo, pasti mereka anggap saya baik-baik saja, tidak ada masalah.
Begitulah otak saya bekerja.

Semakin saya acuhkan, semakin otak saya gencar menyuarakan isi sms itu ke
hati saya. Berulng-ulang kali malah. Seakan-akan isi sms itu adalah bahan Ujian akhir tingkat tinggi.

Saya jadi teringat kembali ketika kemarin saya sedang bersenang-senang
dengan teman-teman, tertawa sampai perut kesakitan, tidak peduli dengan
orang-orang sekitar, bahkan saya tidak peduli kalau saya melakukan itu di
jam yang seharusnya kita beristirahat. Asal saya bisa teriak, mengungkapkan
rasa gembira, saya sangat puas.

Tak pernah terpikir kalau mungkin di jam itu ada orang yang sedang sedih,
ada orang yang sedang menangis, ada orang yang sedang berjuang hidup, bahkan
mungkin ada juga orang yang akhirnya dipanggil Tuhan. Ya, mana peduli, wong hati saya sedang menikmati kesenangan itu.

Dan setelah akhirnya saya pulang kembali ke rumah, pagi itu, saya mendapat
sms yang mengabarkan kalau salah seorang rekan kerja saya sudah dipanggil
untuk menghadap Sang Pemberi Hidup. Saya langsung merasakan sakit yang
teramat sangat di sekitar dada saya, hati saya tepatnya. Ya, mungkin karena
terlalu banyak menghisap asap rokok atau angin malam kali ya, pikir saya.

Tapi, entah karena apa, pemberitahuan berita duka itu bisa berulang kali
sampai di ponsel saya. Saya mau tidak mau jadi berpikir, ada maksud apa dari semua ini?

Seiring rasa sakit yang saya rasakan mulai menghilang, saya malah merasakan
rasa lain, rasa yang teramat menyiksa. Saya bagai disadarkan, kalau umur,
kejadian yang pernah, sedang dan akan kita alami ini semuanya sudah ada yang
mengatur, dan kita tidak akan pernah bisa menduganya. Dan ini memang benar.
Tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka
terjadilah.

Dari pelajaran itu saya berpikir, betapa ayah saya hari ini sudah menjadi
seorang malaikat bagi saya. Apa yang ayah saya sudah lakukan, berarti besar
bagi hidup saya. Simple thing mungkin, tapi ketulusannya yang masih mau
mengingatkan saya, itulah point-nya. Sungguh, sebenarnya saya malu, saya
disekolahkan sedemikian tinggi, dibuat supaya jadi orang yang berpendidikan,
tapi kelakuannya sungguh sangat jauh bila dibandingkan dengan ayah saya yang hanya
lulusan sekolah tingkat atas.

Saya hanya berpikir dengan otak, tapi beliau melakukannya dengan hati.

Sekali lagi, dan mulai saat ini, saya harus bisa berubah, selagi masih ada
kesempatan untuk dapat membuat orang tua tersenyum dalam kebahagiaan. Senyum
dengan penuh ketulusan dan kebanggaan.

Dan semoga saya tidak terlambat.

Papa, maafkan anakmu.. I love you..

2 comments on "sebelum terlambat"

by said...

berikan semua yang terbaik sebelum kita menyesalinya...

aQ yakin ER pasti bisa berubah kok...semangat...

-eRda- on October 17, 2009 at 8:56 AM said...

mas by.. thank you...............

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez