Thursday, May 21, 2009

part 4


“Evan!”
Arvela memanggil Evan sambil berlari-lari meyusuri koridor kampus.
Mendengar namanya dipanggil, Evan menghentikan langkahnya dan menengok melihat siapa yang teriak-teriak di siang bolong seperti ini.
Ketika dilihat sosok yang tidak asing baginya mendekat, Evan bersiap-siap berjalan lagi, bermaksud menggoda Arvela, berpura-pura tidak mendengar.
Arvela yang melihat itu langsung menghentikan langkahnya dan mengambil selembar kertas, meremas-remasnya sampai membentuk bola kertas putih dan melemparnya ke arah Evan.
Pluk.
“Aduh!” Jerit Evan
“Vela! Jelekkkk!” lanjutnya sambil berjalan mendekat ke arah Arvela.
“Sakit tau!” Evan merajuk.
Melihat tampang Evan yang sok-sok-manja-gak-jelas-gitu, bukannya Arvela merasa kasihan, malah dia menyiapkan peluru cadangan lagi. Evan yang tau gerak gerik Arvela yang mulai mencari-cari kertas, langsung memegang tangan Arvela dan menariknya untuk pergi menuju taman kampus.

“Kenapa Ve?” Tanya Evan lembut setelah mereka duduk di salah satu sudut taman itu.
“Aku lagi jengkel nih. Soal Tugas Akhir itu Van. Masa aku udah capek-capek cari data kesana kemari, tiba-tiba Pak Jefry bilang kalau Tugas Akhir itu tidak menarik untuk dikembangkan. Katanya tidak sesuai dengan Jurusan Pendidikan ini. Bete banget gak sih? Trus aku disuruh cari judul lain. Yang artinya aku disuruh ngulang dari awal. Mana ujian tinggal 2 bulan lagi. Aku kan gak mau tambah semester lagi. Target aku kuliah maximal 4 tahun. Hal yang gak mungkin banget kan? Lagi kenapa sih Pak Jefry itu, bisa punya pikiran kaya gitu. Gak ngerti aku Van.” Arvela menmpahkan kekesalannya pada Evan.
“Sabar Ve.” Evan hanya bisa mengatakan itu. Dia tahu betul sifat gadis ini. Jika sedang bad mood, dia pasti gak bisa menerima masukan dari orang lain. Cukup didiamkan dulu, supaya kepalanya adem, setelah itu baru bisa mencerna pendapat orang lain.
“Emang Pak Jefry maunya kamu ganti judul apa Ve? Dia kasi ide gak ke kamu?” Evan berusaha bertanya setelah lama mereka saling berdiam diri.
“Gak tau, dia cuma kasi komen, katanya, kalo permasalahan yang dibahas di Tugas Akhir ini gak menarik. Ganti aja ya? Masih banyak waktu kok. Trus aku malah disuruh ambil 1 semester lagi, supaya gak buru-buru dan hasilnya maksimal. Gimana gak panik Van.” Arvela menjelaskan sambil sesekali masih terlihat emosi.
“Oo, gitu ya? Aku ada ide, gimana kalo kita bahas Tugas Akhir ini sambil minum es campur Mang Adi yuk. Panas-panas begini seger kali ya minum es bareng cewek yang sebenernya cantik tapi jutek banget kaya kamu.”
“Iya, seger, tapi jadi gak seger kalo minumnya bareng sama cowok yang sebenernya baik tapi nyebelin kaya kamu.” Arvela membalas ledekan Evan.
“Dasar, jelek!! Hihihi” Evan tertawa geli mendengar jawaban dari Arvela.

Ya, cuma gadis itu yang bisa membuat Evan berubah drastis. Tak terasa kebersamaannya dengan Arvela hanya menyisakan waktu kurang dari 3 bulan lagi. Evan sendiri sudah menempuh sidang tingkat akhir. Makanya Ia sungguh tidak rela waktu berlalu begitu cepat. Ia masih ingat bagaimana awal dari kedekatannya dengan Arvela. Hanya Arvela yang mampu merubah pandangannya tentang hidup. Hanya sosok ini yang bisa menemani dan menghangatkan hatinya kala sedang gundah. Dan hanya gadis ini juga yang dia percaya untuk menumpahkan isi hatinya tentang keluarganya.
Mengingat itu semua membuat Evan meringis, dalam hatinya Ia merasakan perih. Evan tau, hati tidak pernah bisa berbohong, dan Ia pun sebenernya ingin mengungkapkan kejujuran itu. Tapi apa daya, Ia tidak ingin menambah beban gadis yang amat dicintainya itu. Ya, ternyata selama ini Ia jatuh cinta kepada Arvela. Dan karena alasan bahwa Arvela sudah terlalu banyak beban, Ia tidak berani untuk mengungkapkan betapa Ia sangat ingin memiliki gadis itu, betapa Ia ingin sekali bisa berbagi suka dan duka bersama Arvela.
Tapi apa daya, sampai perpisahan itupun, Evan hanya mampu menyimpan semua rasa itu dalam hati. Terlalu sakit memang, tapi itulah keputusan yang sudah Ia pilih. Sampai akhirnya Ia harus memutuskan untuk menerima tawaran menjadi tenaga kerja di luar negeri.

Dan tepat seminggu setelah Ia kembali ke Indonesia, Ia bersyukur sekali bisa ketemu dengan Arvela lagi. Bahkan Ia tidak menyangka jika ternyata hatinya masih merasakan desiran-desiran itu. Selama ini Ia sudah mengubur dalam-dalam rasa cintanya untuk Arvela, tapi sore ini semua membuktikan kekuatan cinta.

--oo--

0 comments on "part 4"

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez