Thursday, June 17, 2010

.. Kakak ..


Ketika satu hari saya dihadapkan pada situasi harus menjaga 2 orang anak kecil, yang besar, sebut saja Kakak, berumur hampir 6 tahun dan masih sekolah di TK B; sedangkan yang kecil, sebut saja Adik, berumur 15 bulan, ternyata tanpa saya sadari banyak pelajaran yang saya petik dari Kakak.

Pagi itu suasana rumah saya agak ‘sibuk’. Orang tua saya mempersiapkan dirinya untuk perjalanan ke luar kota, sedangkan adik perempuan saya sibuk menyiapkan dirinya untuk pergi ke kantornya. Saya sendiri? Tentu saja saya sibuk menggendong Adik yang memang belum bisa berjalan, karena kebetulan saya sendiri yang tidak ada kegiatan hari itu. Jadi kegiatan mengasuh Adik dan Kakak yang selama ini diperbantukan kepada  orang tua saya, khusus hari ini saya yang ambil alih, karena kami tidak memiliki pembantu rumah tangga.
Setelah kedua orang tua saya berangkat, dan adik perempuan saya juga meninggalkan rumah, saya memulai kesibukan hari itu dengan mempersiapkan air hangat untuk Kakak mandi. Kakak sudah bisa mandi sendiri, jadi saya tidak perlu repot membantunya. Sambil menunggu Kakak selesai mandi, saya mempersiapkan baju kotor yang akan dicuci, memasukkannya ke dalam mesin cuci, dan mulai memutar timer nya. Kebetulan hari itu cucian keluarga saya tidak menumpuk seperti biasanya.

Selesai Kakak mandi dan berganti pakaian seragam, hal ini pun dilakukannya sendiri tanpa bantuan saya, saya segera mempersiapkan bekal yang akan dibawanya ke sekolah, yaitu biscuit dan air minum sirup, dan juga sarapan paginya, nasi + telor ceplok setengah mateng + kecap. Sambil menunggu Kakak menghabiskan sarapan, saya menyisir rambutnya, kali ini Kakak tidak bisa melakukannya sendiri, karena rambut Kakak yang lumayan panjang. Setelah itu saya bergantian memandikan adik, memakai baju dan mendandaninya  (untuk info, Kakak dan Adik ini dua-dua nya adalah perempuan), kemudian sama-sama duduk di ruang tengah sambil menunggu mobil jemputan Kakak datang.

Mungkin karena melihat bekal untuk Kakak yang sudah saya persiapkan, Adik mulai agak ‘rese’ dan berusaha mengambil kepunyaan Kakak. Disinilah pelajaran pertama saya dimulai, dan dialog yang ada pada cerita ini tidak ada rekayasa sama sekali.
Kakak:  “ Jangan Dik, itu punya Kakak buat bekal sekolah. Adik mau? Nanti ya, kalau Kakak sudah pulang.” (dengan nada yang sangat halus, jauh dari bentakan, dan mata memandang Adiknya)
Adik:  “Hmmm..hmm,,” (belum lancar berbicara sambil terus berusaha mengambil bekal Kakaknya)
Kakak:  “Oh, Adik mau? Dibuatin sendiri ya?” ( kemudian menoleh kepada saya) “Te, tolong buatin minum buat Adik, pakai tempat minum yang satu lagi.”
(Ate adalah panggilan mereka untuk saya)
Adik: “Hmmm.. hmmm,,” (sambil tetap terus berusaha mengambil bekal milik Kakaknya)
Kakak: “ Sabar ya Dik, itu lho lagi dibuatin Ate. Ya?” (masih dengan nada yang halus, dan tidak ada teriakan sama sekali”

Setelah saya  selesai membuatkan minum buat Adik yang akhirnya mampu membuat Adik diam, kamipun kemudian mengantar Kakak yang sudah dijemput oleh mobil sekolah. Sekolah Kakak memang agak jauh dari rumah kami, makanya dia memerlukan fasilitas antar jemput untuk ke sekolah.

#1.  Siapa sangka anak seusia Kakak yang belum genap 6 tahun, mampu memperlakukan Adiknya sedemikian sabar, dan tanpa merasa ada persaingan sama sekali. Mungkin banyak yang bisa bertindak demikian, tapi saya mengakui bahwa sayapun tidak mampu berbuat seperti itu. Dengan adik saya sendiri, sekian belas tahun yang lalu, itu tak pernah terjadi. Saya mulai belajar untuk saling menyayangi dari Kakak.

Siang hari, sepulang Kakak sekolah, Adik (dan saya) sedang tidur. Saya meminta Kakak untuk tidak mengganggu Adiknya, maksud hati karena saya ingin istirahat sebelum berencana mau menyetrika baju, mumpung Adik sedang terlelap nanti. Tanpa kata, hanya sebuah anggukan, Kakak kemudian mengganti baju seragamnya dengan baju rumah dan keluar kamar. Saya mulai memejamkan mata lagi, sambil menunggu dan berusaha mencuri dengar apa yang akan Kakak lakukan siang ini. Biasanya dia akan mengambil sepedanya dan bermain sampai kelelahan atau menonton TV yang mungkin tayangannya bukan untuk seumur dia. Karena tidak mendengar suara apapun, sayapun menjadi curiga apa yang sedang dilakukannya. Dengan mata setengah mengantuk, karena tidur saya yang terganggu gara-gara Kakak masuk kamar tadi, saya pun menuju ruang tengah. Dan apa yang saya lihat? Pelajaran kedua bagi saya.
Tanpa disuruh, saya melihat Kakak sedang asyik dengan pensil warnanya dan sebuah buku pelajaran di meja.
Saya: “Kakak lagi ngapain?” (pura-pura bertanya)
Kakak: “Mewarnai gambar. PR ku banyak Te, ada 4. Daripada aku lupa, aku warnai sekarang aja.” (sambil terus mewarnai gambar yang ada dibukunya)
Saya: “Ow.. Kok banyak sekali? Pasti gara-gara Kakak gak masuk sekolah kemarin ya? Oya, Kakak udah maem belum? Ate ambilin ya? Pakai sayur sama telor ceplok mau?”
Kakak: “Belum maem. Iya mau, tapi jangan lupa dikasih kecap ya?”
Saya: “ Loh kok dikasih kecap? Ini kan sayur asem?”
Kakak: “ Gak papa Te, anggep aja kayak makan bakso.”
Saya: “ Ok deh, terusin gambarnya ya, Ate siapin dulu.”
Daripada berdebat, akhirnya saya siapkan seperti apa yang Kakak mau. Kakak memang agak kurang selera makannya, apalagi dengan yang namanya sayur. Nah, kali ini saya akan coba untuk paksa Kakak makan sayur dengan cara saya sendiri. Seperti saya memberikan pengertian tentang telor ceplok setengah matang kemarin, yang sebelumnya Kakak sangat tidak menyukai telor ceplok setengah matang.

Saya: “Ini Kak maemnya. Ate suapin aja ya? Sambil Kakak terusin gambar.”
Kakak: “ Iya, iya. Tapi aku gak mau pake jagung Te.” (Kakak melihat piring yang saya bawa dengan lauk sayur yang lumayan banyak. Dalam hati saya, here we go..)
Saya : “Emang Kakak udah pernah makan jagung muda ini? Ini namanya putren.” (sambil saya memperlihatkan jagung muda tersebut. Kakak menggelengkan kepalanya. “ Makanya, cobain dulu. Enak deh. Ate aja doyan banget jagung ini. Kalau belum pernah nyoba, gak boleh bilang gak mau ya?” (sambil saya meyodorkan ke Kakak dan akhirnya Kakak mau mencobanya)
Kakak: “Iya Te, enak. Kalau gitu aku makan pakai sayur juga ya?” (dalam hati saya, sukuuurrr, amaaann)

Sambil menyuapi Kakak, saya mengajak Kakak ngobrol. Kami  membahas cerita apa yang terdapat dibalik gambar yang diwarnai, warna yang cocok untuk gambar tersebut, sampai bagaimana teknik mengeblok gambar tersebut. Karena iseng, saya mencoba menanyakan ilmu yang dia dapatkan ketika mengikuti les manggambar dulu.
Saya: “ Dulu diajarin Pak Yo apa aja Kak?”
Kakak: “  Degradasi warna”
Saya: “Trus, cara ngeblok juga? Kok Kakak ngeblok nya gitu? Gak searah? Jelek dong Kak.” (kata saya sok protes)
Kakak: “Gak papa Te, Pak Yo bilang gakpapa, bisa 5 arah. Kaya gini lho.” (Sambil mempraktekkannya. Saya sendiri tidak tahu apakah Kakak memang benar atau membenarkan dirinya.)
Saya: “Ah, besok Ate mau les juga ah ditempat Pak Yo, biar bisa gambar yang bener.”
Kakak: “ Ha? Ate mau les juga? Coba deh, badannya Ate dikurusin dulu, trus make bajunya yang kecil-kecil aja, kaya bajuku.”
Saya: “Kenapa emangnya?” (sambil menahan gondok, karena secara tidak langsung Kakak menyebut saya gendut)
Kakak: “ Ya biar dikira anak kecil. Kan yang les disana anak kecil-kecil semua.” (ucapnya tegas.)

Sampai disini saya tidak melanjukan percakapan ini, karena Kakak pun tidak akan tahu bagaimana rasanya bila dicap sebagai cewek gendut. Sudahlah, saya kemudian mengganti topic pembicaraan dengan Kakak perihal tema pesta ulang tahunnya yang rencana akan dibuat pesta kecil-kecilan. Saya mengusulkan agar Kakak memilih pesta dengan tema sepak bola. Begini dialognya.

Saya: “ Oya Kak, Ate punya usul, pesta ultahmu besok, temanya bola aja Kak.”
Kakak: “Ow, Piala Dunia ya Te?”
Saya: “ Iya. Nah, ntar kita kompakan pake baju Brazil. Ate kan punya, Mas Ivo juga punya, Om Dhika punya, nanti Kakak Ate beliin yang kayak Mas Ivo. Mau?” (sambil merayu Kakak)
Kakak: “ Bunda kan gak punya Te. Oya, Mas Dika sama Adik gimana?” (Kakak selalu ingat kepada Bundanya, Adiknya dan saudara sepupunya yang jauh di Surabaya)
Saya: “ Ate kan punya 2, nanti Bunda pakai punya Ate aja. Mas Dika kita undang aja ke Semarang, nanti Ate beliin, sekalian Adik juga. Nah, ntar to Kak, kita foto rame-rame, trus abis itu Ate upload ke Kompasiana, dan facebook. Ok gak rencananya?” (sambil memberikan senyuman termanis saya)
Kakak: “ Trus yang diundang, kalau gak punya baju bola gimana Te?”
Saya: “ Ya gakpapa, yang penting kan kita aja.”
Kakak: “ O, jadi keluarga aja ya Te. Keluarga Brazil. OK deh.” (Yes, dalam hati saya, padahal saya juga tau, Kakak tidak mengerti Brazil itu dimana, pemainnya siapa saja. Tak pentinglah, yang penting, dia sudah setuju.)

Satu piring dengan sayur sudah hampir habis ketika Kakak mengeluh capek dan ingin istirahat di kamar. Saya pun memakluminya dan berpesan supaya Kakak tidak mengganggu Adiknya yang sedang tidur.
#2. Hal sekecil apapun akan terlihat mudah ketika kita bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan dengan seorang yang berumur jauh dengan kita. Saya tidak menyangka jika apa yang saya komunikasikan dengan Kakak akan mendapat tanggapan yang sangat positif darinya. Dari soal PR, hal mewarnai, hal berdiskusi, sampai dengan hal memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dihormatinya. Dan satu lagi, Kakak melakukan itu semua dengan penuh kepolosan dan ketulusan. Justru dari inilah saya belajar untuk bisa menjalin komunikasi yang didasari dengan ketulusan.

Kakak masuk kamar, saya pun agak sedikit curiga, karena sebelumnya dia sempat meminta ijin kepada saya untuk bermain dengan Adik, sudah kangen katanya. Ternyata dugaan saya benar, bukannya Kakak yang menyusul untuk tidur siang, malah Kakak berusaha membangunkan Adiknya. Yah, sudah terlanjur Adik bangun, sayapun kemudian meminta tolong kepada Kakak untuk menjaga Adik, karena saya mau menyetrika baju. Dan Kakakpun menyanggupinya. Pelajaran ketiga saya.
Selesai menyetrika, kemudian saya menyiapkan air hangat untuk mandi sore Kakak. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Dan kali ini pun Kakak melakukannya sendiri, bahkan ketika saya berpesan untuk keramas. Selesai Kakak mandi, saya pun kemudian gantian untuk memandikan Adik, memakaikan baju, dan mendandaninya. Sambil saya menyisir rambut Kakak, Kakak meminta ijin saya untuk bermain keluar, sambil menunggu Bundanya pulang dari kantor. Sekalian menyuapi makan Adik. Saya setuju dengan Kakak, karena memang seharian mereka sudah bermain di dalam rumah, dengan syarat Kakak tidak boleh keringetan, tidak boleh mengeluh capek, dan minta tolong untuk menjaga Adik sambil menunggu saya mandi. Dan lagi-lagi Kakak menyanggupinya.

#3. Bentuk tanggung jawab yang selama ini saya pahami ternyata sangat sempit. Selama ini saya tidak pernah percaya dengan seorang yang saya anggap masih dibawah umur. Saya percaya dan terdoktrin bahwa tanggung jawab hanya wajib dipikul oleh orang yang sudah dewasa. Hari ini saya mulai belajar dari Kakak. Jika saya memberikan satu tanggung jawab pada anak berumur berapapun, dengan komunikasi yang baik, saya yakin dia pun akan melakukannya dengan sepenuh hati. Dan ini terbukti sepanjang sore ini. Adik merasa nyaman dengan Kakaknya, tertawa-tawa, tidak menangis, tidak cidera. Dampaknya buat saya, pekerjaan saya yang lain jadi tidak terbengkalai, selesai sesuai waktunya.
Sungguh, kerjasama yang sangat indah Kak.

Banyak hal yang ingin saya bagikan tentang Kakak. Banyak yang bisa saya ambil sebagai pelajaran. Mungkin bagi sebagian orang, hal-hal yang Kakak lakukan diatas sudah biasa, sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Tapi disini saya melihat dari sisi saya, seorang yang belum mempunyai anak, seorang yang belum pernah bersentuhan langsung dengan anak, dan saya merefleksikan diri saya sebagai seorang Kakak sekian belas tahun yang lalu, jawabannya satu, saya malu. Karena apa yang Kakak perbuat hari ini, sungguh mengispirasi saya untuk bisa berbuat lebih nantinya. Terlepas dari benar atau tidaknya orang tua yang mendidik anak, apa yang tumbuh dan keluar dari hati, itulah yang paling utama.

Dan satu hal, Kakak dan Adik tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak sempurna. Ayahnya seorang pelaut yang mungkin ketemu dengan mereka hanya beberapa hari dalam setahun, sedangkan Bundanya adalah seorang pekerja yang mengharuskan masuk kantor dari jam 08.00 – 17.00. Dan kini, mereka sedang dihadapkan pada situasi yang sangat tidak menguntungkan dalam keluarganya. Kakak dan Adik diharuskan tumbuh dalam permasalahan yang dihadapi oleh kedua orangtuanya. Mungkin untuk hal ini Kakak tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dan tidak memilih untuk terlibat secara langsung pada permasalahan orang tuanya. Mungkin Kakak juga sudah ‘terbiasa’ dengan keadaan yang tidak terdampingi. Mungkin juga sebenarnya Kakak mulai tau dan paham dengan situasi yang ada pada keluarganya. Mungkin Kakak juga menyimpan luka dalam hatinya. Dan saya percaya masih banyak mungkin-mungkin lain yang nantinya akan terungkap oleh waktu.
Hanya satu yang pasti, Kakak mengerti dia memiliki Adik yang selalu disayangnya, yang selalu dijaganya, yang selalu ingin didekapnya, yang selalu akan dicintanya.
Sesederhana itu.
Dan sepanjang hari itu saya bersama Kakak, hanya satu kalimat yang ingin saya ucapkan, “Terima Kasih Kak, Ate sayang sama Kakak, dan Ate tidak akan pernah merelakan air mata Kakak jatuh lagi.”

0 comments on ".. Kakak .."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez