Wednesday, April 14, 2010

,, Nokyanya Zetaedo ..


“Ya Kak. Kakak juga hati-hati ya. Jaga diri dan jaga kesehatan.” Kataku menyudahi pembicaraan dengan Nokyanya, kakak perempuanku, yang memang sudah menjadi agenda rutin setiap pagi. Mau tak mau mataku jadi melek, karena untuk hari ini Kak Anya, panggilan kesayanganku untuknya, menelpon pada waktu yang tidak biasanya. Terlalu pagi tepatnya. Dan hanya untuk membicarakan apa yang Kak Anya alami kemarin, siapa lagi kalau bukan dengan Dion, teman lelakinya sekarang. Sambil terkantuk-kantuk, aku paksakan untuk berdiri, membuka jendela dan siap-siap untuk mandi.
Aku dan Kak Anya memang tidak terlalu jauh berselisih umur. Hanya sekitar 2 tahun. Perbedaan yang tidak terlalu jauh inilah yang akhirnya membuatku dengan dia mengalami banyak hal.
Waktu kecil, kami selalu bersaing. Apa yang Kak Anya dapatkan, aku pasti juga berusaha untuk mendapatkannya. Dari baju, sepatu, tas sekolah, makanan, sampai barang-barang koleksi pun, aku selalu berusaha menyamai kepunyaan Kak Anya. Bahkan sampai ekstra kurikuler pun, apa yang Kak Anya ikuti, aku juga berusaha untuk bisa masuk ke ekstra tersebut. Dan bisa ditebak, hari-hari kamipun banyak diwarnai dengan pertengkaran. Dari hal kecil seperti tersebut diatas sampai dengan keputusan keluarga yang terkadang melibatkan kami berdua. Seperti contoh ketika Ayah dan Ibu memutuskan untuk mengajak kami mengunjungi saudara yang ada di luar kota, pasti akan terjadi adu mulut dulu antara aku dan Kak Anya yang sama-sama berkeras untuk menentukan berapa hari akan menginap dan rencana pergi kemana saja ketika ada di kota tersebut.
Tetapi untungnya, rasa persaingan ini tidak berlangsung lama. Terkadang setelah kami saling ngambek, bahkan pernah sampai cakar-cakaran, aku sering menangis mengapa aku bisa berbuat demikian terhadap Kak Anya. Demikian juga Kak Anya yang sering kepergok menangis diam-diam jika kami saling menyakiti pada siang harinya. Jika sudah demikian, kami akan menjadi sepasang kakak-beradik yang kompak sekali sampai masalah berikutnya datang. Begitu seterusnya.
Aku memang dilahirkan dengan keadaan keluarga yang pas-pasan. Ayah yang seorang wiraswasta kecil-kecilan, hanya mempunyai sebuah bengkel sepeda di pinggir jalan, dan Ibu yang seorang Pegawai Negeri Sipil golongan II, memang harus rela berbagi tempat tidur dengan Kak Anya. Masih ditambah dengan keberadaan kedua kakak lelakiku yang lain. Rumah yang mampu dicicil dari gaji Ibu hanya bisa membuat 2 kamar tidur. Itupun kamar tidur yang dipaksakan, karena berbahan dinding dari kayu lapis, kami menyebutnya tripleks. Sedangkan kakak lelaki kami harus rela tidur secara lesehan, di ruang tamu. Mereka harus terus berharap supaya jangan ada tamu yang pulang terlalu larut, karena jika demikian, mereka pasti belum bisa menggelar ‘perabotan’ tidur mereka.

“Hallo Kak.”
“Iya, Lumayan.”
“Mungkin makan dikantor Kak. Minta tolong dibeliin Pak Tris aja nanti. Kakak mau makan di mana?”
“O, ya sudah. Hati-hati ya Kak, salam buat Dion.”

Nokyanya Zetaedo, nama lengkap Kak Anya. Diam-diam aku sebenarnya sangat mengagumi Kak Anya. Memiliki kepandaian yang cukup lumayan, ditambah dengan paras keibuan yang bisa membuat orang merasa nyaman dekat dengannya, dan kesukaannya berolahraga yang menjadikan tubuh Kak Anya terbentuk sempurna. Sangat bertolak belakang denganku. Kepandaianku bisa dibilang cukup, meski tak bisa melebihi Kak Anya, wajahku agak sedikit terlihat keras dengan rahang yang nampak kokoh, mungkin mewakili paras Ayah, dan aku agak sedikit berkelakuan seperti laki-laki. Hanya kesukaan pada olahraga yang menyamai aku dengan Kak Anya. Meski Kak Anya tampak sempurna dihadapanku, hal yang sering membuatku merasa iri dengannya, tapi untuk masalah pasangan, boleh dibilang Kak Anya termasuk wanita yang kurang beruntung.

Bagi wanita seumuran dengan Kak Anya, yang sudah mulai masuk pada usia kepala 3, bisa dibilang sudah terlambat dalam mencari jodoh, apalagi keluarga besar kami di kampung sudah mulai ‘kasak-kusuk’ untuk berusaha mendapatkan satu sosok laki-laki yang tepat untuk Kak Anya. Dibanding dengan aku yang sudah berulang kali ganti-ganti pacar, dan berulang kali pula aku yang memutuskan hubungan dengan mereka. Kebalikan dengan Kak Anya, malah terkadang hubungan percintaannya banyak yang harus kandas karena ditinggal oleh pacarnya.
Dalam hati aku sedih, apa ini yang dinamakan hukum karma? Aku yang sering menyakiti laki-laki, dibalas oleh Tuhan kepada Kak Anya?

Tapi memang Tuhan Maha Adil, karena dalam hal karir, Kak Anya termasuk wanita yang cukup beruntung. Meski hanya berbekal ijazah Diploma, itupun hasil dari beasiswa dari salah satu lembaga asing yang menaruh minat pada bakat Kak Anya yang lain, yaitu menari, karena melihat dari latar belakang Ayah dan Ibu yang tidak cukup mampu untuk menyekolahkan kami ke jenjang yang lebih tinggi; Kak Anya justru bisa diterima di salah satu perusahaan asing hasil rekomendasi dari pertemanannya dengan para bule di tempatnya mengajar tari. Penghasilan yang didapat pun sangat cukup untuk membantu perekonomian keluarga kami. Apalagi kedua kakak laki-laki ku juga sudah bekerja dan sedikit bisa membantu Ayah dan Ibu memperbaiki rumah kami sehingga menjadi sedikit layak dihuni. Kedua kakak laki-laki ku memang memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka cukup bertoleransi untuk menggantikan Ayah menjadi tulang punggung keluarga.
Karena biaya pendidikan Kak Anya yang gratis, ditunjang dengan keadaan kedua kakak laki-lakiku, Ayah dan Ibu akhirnya bisa memaksakan diri untuk membiayai kuliahku. Tak ada rasa iri yang tampak pada Kak Anya melihat aku bisa bersekolah dengan biaya Ayah dan Ibu. Malah dengan semangat Kak Anya sangat mendukungku.

Di perusahaannya, Kak Anya menjabat sebagai Kepala Bagian, dan oleh karena tugas dan tanggung jawabnya, maka bisa mendapat fasilitas yang juga cukup lumayan, sebuah kendaraan pribadi dan pinjaman lunak dengan system potong gaji. Berbekal dari itulah Kak Anya sudah bisa mencicil sebuah rumah kecil-kecilan di pinggiran kota. Sedangkan aku yang saat ini masih bekerja sebagai staf di perusahaan menengah, terlihat sangat jauh perbedaannya dengan Kak Anya. Terkadang, aku masih menyimpan rasa persaingan, tetapi bila ingat akan jasa Kak Anya terhadap keluarga kami, akupun bisa meredam rasa itu, dan justru merasa termotivasi akan perjuangan Kak Anya.
Apalagi sekarang Kak Anya sedang melanjutkan pendidikannya di tingkat Master, itupun hasil dari beasiswa. Aku semakin merasa ingin menjadi berhasil seperti Kak Anya. Mempunyai impian untuk membuat bahagia Ayah dan Ibu.

“Iya Kak. Niy lagi makan ayam bakar. Kak Anya makan apa jadinya?”
“Wah, seru banget tuh. Sayang ya, aku gak bisa join. Kapan-kapan deh Kak kita makan disitu lagi.”
“Kak Anya mau beli baju musim dingin? Memangnya Kak Anya mau ke…. Jadi Kak? Kak Anya diterima? Wah, congrats ya Kak. Pasti Ayah dan Ibu senangnya bukan main.”
“Iya Kak, Kak Anya juga lanjutin makan dulu deh, nanti kita cerita-cerita lagi.”

Karena merasa iba dengan kisah percintaan Kak Anya, setiap kali aku ketemu dengan dia, aku cuma bisa memberikan penghiburan. Terkadang aku ajak Kak Anya untuk bergabung dengan komunitas pergaulanku. Sekedar untuk memperluas jaringan pertemanan saja. Apalagi dengan tingkat kesibukan Kak Anya yang cukup tinggi, pasti waktu untuk bersosialisasi agak berkurang. Mungkin itu pula yang menyebabkan Kak Anya belum mempunyai hubungan yang lumayan serius dengan laki-laki.
Dan untungnya, teman-temanku tidak mempunyai masalah dengan kehadiran Kak Anya. Justru banyak dari mereka yang akhirnya menjadi cukup dekat dengan Kak Anya, mengingat Kak Anya adalah pilihan yang tepat untuk tempat curhat.
Demikian juga dengan Kak Anya. Dia tidak merasa sok dewasa di tengah teman-teman adiknya. Jarak umur yang tidak begitu jauh, membuat Kak Anya merasa temanku adalah teman seumuran dia juga.

Salah satunya adalah Dion. Sahabat dekatku. Awalnya bahkan Dion tidak terlalu peduli dengan kehadiran Kak Anya, demikian juga Kak Anya yang cenderung lebih dekat dengan teman-temanku yang lain. Tetapi entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Dion menjadi paling akrab dengan Kak Anya. Setiap kesempatan yang ada, mereka selalu terlihat berdua dan bercanda tanpa ada kecanggungan sama sekali.
Aku sungguh takjub dan gembira melihat Kak Anya bisa tertawa lepas seperti itu. Hampir selama 2 tahun Kak Anya menutup diri dari pergaulan dengan semua teman pria yang berusaha mencoba dekat dengannya, tapi dengan Dion, Kak Anya nampak beda.
Aku pernah menanyakan kepada Dion tentang kedekatannya dengan Kak Anya. Dan dia hanya menjawab, Kak Anya berbeda dengan wanita lainnya. Itu saja. Bahkan aku pernah juga menanyakan bagaimana perasaannya ke Kak Anya. Dion lagi-lagi hanya menjawab singkat bahwa selama ini dia merasa nyaman bercerita tentang apapun ke Kak Anya. Sama nyamannya dengan bercerita kepadaku sebelum ketemu dengan Kak Anya.

Dan aku coba untuk mengerti, karena apa yang aku lakukan ini juga tak lain untuk membuat Kak Anya bahagia. Untuk membuat Kak Anya merasa dikelilingi oleh banyak teman.
Jika aku berani bertanya tentang perasaan Dion ke Kak Anya, justru aku tak pernah berani menanyakan bagaimana perasaan Kak Anya. Kak Anya bisa menjadi orang yang sangat tertutup jika berbicara mengenai perasaan pribadinya. Dan aku sangat mengerti hal itu. Oleh karenanya aku hanya bisa menunggu kapan Kak Anya mau membicarakan isi hatinya.

Sejak kedekatannya dengan Kak Anya, Dion mulai jarang mengajakku ngobrol. Tidak seperti biasanya dimana aku dan Dion selalu menghabiskan waktu untuk membicarakan dan membahas apapun yang terjadi pada keseharian kami masing-masing. Memang tekadang Dion masih menghubungiku, meski hanya untuk minta pendapatku tentang impian sebuah perkawinanlah, tentang gaun pengantinlah, tentang resepsi perkawinanlah, apa saja yang menyangkut tentang pernikahan. Selebihnya, tidak pernah.
Jujur, aku mulai merasa tersingkir dengan keadaan ini. Aku memang mempunyai banyak teman lain jika hanya ingin curhat atau hang out layaknya yang aku lakukan seperti dengan Dion. Tapi ini lain. Karena… Karena aku memang mempunyai perasaan lain kepada Dion. Aku memendam perasaan cinta kepadanya.
Dan aku tidak tahu harus menyalahkan siapa ketika aku mempunyai perasaan ini. Aku tidak mungkin mengganggu kebahagiaan Kak Anya. Aku juga tidak mungkin untuk jujur kepada Dion. Bagaimanapun, aku masih menghargai hubungan yang telah terbangun antara Kak Anya dengan Dion. Karena ini yang memang aku inginkan. Melihat Kak Anya bahagia.
Persaingan antara aku dengan Kak Anya ternyata tidak bisa berhenti ketika kita sama-sama dewasa. Meski bukan kesalahan Kak Anya, tetap saja aku selalu merasa ‘kalah’ dengannya. Dan kali ini aku harus berkorban lebih besar lagi. Karena aku harus merelakan ‘cintaku’ di miliki oleh Kak Anya.

“Hallo Kak.”
“Lho, Kak Anya ada di Bandung? Kok gak bilang-bilang dulu?”
“Gak kok Kak. Aku kebetulan gak ada acara. Ya sudah, aku siap-siap dulu ya Kak.”

Ingin rasanya aku membenci Kak Anya, ingin rasanya aku menolak setiap Kak Anya berkata ingin bertemu denganku. Ingin rasanya aku menghindar dari setiap telpon Kak Anya. Tapi aku tak pernah bisa melakukan hal itu. Aku tidak punya alasan yang logis. Aku tidak pernah bilang jika aku mempunyai perasaan yang lain terhadap Dion. Aku juga tidak bisa melarang jika Kak Anya akhirnya merasa nyaman dengan Dion. Aku jadi kesal dengan diriku sendiri. Aku merasa menjadi seperti seorang pecundang.
Tapi rasa sayangku terhadap Kak Anya, rasa penghormatanku terhadap Kak Anya mengalahkan segalanya. Aku berjanji bahwa apapun yang akan menjadi keputusan Kak Anya, aku akan menerima dengan rela. Bagaimanapun juga akhirnya nanti Dion juga akan menjadi anggota bagian dari keluargaku juga. Aku akan mencoba untuk berbesar hati.

Kak Anya ternyata mendapat beasiswa lanjutan untuk pendidikan Master nya di Belgia. Dan sebelum Kak Anya pergi kesana, aku mendapat kabar kalau Kak Anya dan Dion akan melangsungkan pertunangannya dulu. Sekedar untuk menunjukkan bahwa hubungan yang mereka jalani telah melangkah ke tahap yang lebih serius. Aku tidak kaget mendengar berita ini. Aku juga menyadari mengapa pertanyaan selalu seputar pernikahan yang akhir-akhir Dion sering ajukan kepadaku. Dan aku sudah menduga bahwa cepat atau lambat, hal ini pasti akan terjadi. Mungkin sekaranglah waktunya Tuhan memberikan apa yang Kak Anya inginkan. Aku harus kuat, karena aku sayang Kak Anya.
Mungkin untuk membicarakan hal inilah Kak Anya menyempatkan diri datang ke Bandung menemuiku. Jarak Jakarta – Bandung yang tidak terlalu jauh membuat Kak Anya tidak perlu merencanakan kedatangannya jauh-jauh hari. Dan tidak pernah mengkonfirmasi kedatangannya kepadaku. Hal yang sebenarnya tidak aku suka. Karena aku tidak pernah bisa menolak kehadirannnya. Entah kenapa. Dan beruntungnya, Kak Anya selalu berhasil menggagalkan keinginanku.

Kak Anya datang sendiri ke Bandung, tidak dengan Dion. Dan begitu bertemu denganku, dengan wajah berbinar-binar Kak Anya menceritakan rencana pertunangannya. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi semua cerita Kak Anya. Entah senyum kebahagiaan, atau senyum kepalsuan, aku sendiri tidak bisa mendefinisikannya. Kak Anya mengajakku ke butik langganannya. Ternyata, Kak Anya sudah memesan 2 gaun untuk pertunangannya, satu untuk Kak Anya, dan satu lagi untukku. Tentu saja aku bingung dan heran, karena aku tidak pernah melakukan fitting, tetapi ketika aku mencoba memakainya, bajunya terasa pas di badanku.
Aku dan Kak Anya bagaikan 2 malaikat kembar dengan postur yang tidak jauh berbeda. Yang satu tampak seperti malaikat yang sering ada di dalam dongeng, sedangkan yang satu yaitu aku, tampak seperti malaikat jadi-jadian dengan wajah ‘keras’ku. Aku hampir tidak percaya ketika aku mematut diri di cermin, bagaimana bisa aku memakai sebuah gaun yang bermimpipun aku tidak pernah ingin memakainya. Dalam ketidak-percayaanku, aku juga sempat berkhayal, seandainya aku yang akan bersanding dipelaminan menggunakan gaun ini, dan Dion yang ada disampingku memakaikan cincin pertunangan kami. Tak  terasa kurasakan mataku yang mulai memanas, dan karena tidak ingin terlihat oleh Kak Anya, aku segera berbalik dan cepat-cepat menyeka air mataku yang belum sempat jatuh.

Selepas dari butik, Kak Anya mengajakku untuk makan siang di café masakan Jepang yang tidak begitu ramai. Kebiasaan kami yang sama, tidak suka makan atau berada di tempat yang terlalu banyak pengunjung. Kak Anya memilih tempat yang di pojok yang agak terhalangi dengan pot pohon beringin mini, sehingga tampak sangat private bagi kami. Sekali lagi Kak Anya menceritakan tentang pertunangannya dan kali ini memaksaku untuk memberikan tanggapan apakah ada yang tidak sesuai dengan keinginanku atau tidak. Kontan saja aku gelagapan mendengarnya. Aku pikir Kak Anya sudah gila, dia yang mempunyai rencana, dia yang akan bertunangan, mengapa harus sesuai dengan keinginanku?
Belum sempat aku menjawab, aku melihat Dion datang dengan seorang laki-laki bule yang tidak asing bagiku dan segera menghampiri kami berdua. Aku ingat namanya adalah Ronn, teman seperguruan tari Kak Anya, dan aku sering memanggilnya dengan Ronney, pemain sepakbola kesayangan Dion. Meski bukan dari Inggris, tetapi Ronn tidak keberatan dengan panggilan itu. Ronn mengambil tempat di sebelah Kak Anya, dan Dion disebelahku. Aku tidak mengerti ada apa dibalik ini semua, mengapa tiba-tiba mereka hadir di Bandung tanpa aku tau sebelumnya, dan sepertinya aku merasakan ada sesuatu yang disembunyikan dariku selama ini.

Kak Anya akhirnya memperkenalkan kepadaku bahwa Ronn-lah yang menjadi calon tunangannya. Seketika aku menoleh kepada Dion, sambil tersenyum Dion mengangguk dan memegang tanganku, dalam ketenangannya yang luar biasa Dion memintaku untuk bersedia menjadi calon tunangannya. Aku menatap Kak Anya, Ronn, Dion, bergantian. Mulutku menganga tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun, seakan ingin meminta penjelasan dari mereka.
Melihatku kebingungan, Kak Anya segera mengambil alih situasi. Dengan lembut Kak Anya menjelaskan bahwa selama ini kedekatannya dengan Dion tidak menimbulkan suatu hubungan yang istimewa. Kak Anya justru menganggap Dion sebagai sorang adik, karena ternyata selama ini hanya aku yang dibicarakan Dion. Dion sering minta pendapat bagaimana cara memenangkan hatiku. Karena, meski aku dan Dion adalah teman lama, terkadang masih ada rasa gengsi untuk mengungkapkan bahwa aku dan Dion saling membutuhkan. Alasanku karena aku memang berencana ‘menjodohkan’ Dion dengan Kak Anya, yang akhirnya malah sempat membuat hatiku sakit. Dan Kak Anya lah yang akhirnya meyakinkan Dion, bahwa aku juga mencintai Dion.

Aku kaget, darimana Kak Anya tau perasaanku. Aku justru selama ini berusaha menghindar dari Kak Anya, aku tak ingin Kak Anya tau bahwa lelaki yang sering berduaan dengannya adalah yang aku butuhkan. Dan aku bersumpah tidak akan pernah memberi tahu siapapun tentang perasaan ini. Tapi kenyataannya?
Mukaku memerah antara menahan malu dan haru. Aku tidak mengerti bagaimana harus bersikap terhadap Kak Anya. Aku hanya bisa membalas pelukannya. Aku selama ini telah berburuk sangka terhadap Kak Anya. Aku menganggap Kak Anya sebagai saingan. Aku terlalu dipenuhi oleh pikiran yang negatif. Aku selalu merasa iri dengan Kak Anya. Aku selalu tidak mau kalah dengan Kak Anya. Ah, kalau ingat, betapa malunya aku.
Ternyata justru Kak Anya lah yang memperjuangkan perasaanku, justru Kak Anya lah yang sangat mengerti apa yang aku butuhkan, justru Kak Anya lah yang selama ini berusaha membuatku bahagia. Diam-diam Kak Anya selalu mencari tau apa yang menjadi kerisauanku, layaknya seorang detektif. Tanpa aku sadari, Kak Anya selalu memperhatikan nada suaraku ketika menyebut nama Dion. Kak Anya bisa merasakan jika ada sesuatu dalam perasaanku. Kak Anya juga tau bagaimana mataku memandang Dion, meski dari kejauhan. Kak Anya sadar, setiap Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Dion, aku selalu terdengar tidak tertarik dengan ceritanya. Alasan-alasan itulah yang membuat Kak Anya yakin bahwa aku mencintai Dion.

Dengan terbata aku meminta maaf pada Kak Anya. Aku ungkapkan bagaimana perasaanku selama ini. Apa yang selalu ada dalam pikiranku. Hal-hal buruk mengenai Kak Anya, rasa iri ku terhadap Kak Anya, rasa cemburuku yang tidak beralasan. Aku merasa siap apabila Kak Anya mau membenciku atau membalas dengan hal yang lebih kejam. Karena aku sadar apa yang aku lakukan sudah melebihi batas.
Tapi ternyata tidak.
Kak Anya memelukku dan memintaku untuk tidak melanjutkan perkataanku. Kak Anya malah mengaku salah bahwa selama ini sudah membuatku mempunyai perasaan itu. Kak Anya menyesal karena terlambat menyadari bagaimana perasaanku sebenarnya. Dengan tulus Kak Anya meminta maaf atas perbuatannya. Dan untuk menebus kesalahannya, Kak Anya merencanakan sebuah kejutan untukku. Atas persetujuan Dion dan Ronn, Kak Anya berniat untuk menyelenggarakan pesta pertunangan bersama. Kak Anya dengan Ronn, aku dengan Dion.
Tangisku semakin tidak bisa kutahan. Mataku mulai menghangat akan jatuhnya air mata. Aku merasa sangat kecil dihadapan ketiga orang terdekatku ini. Mereka benar-benar manusia berhati malaikat. Tidak pernah sedikitpun mereka membicarakan kesalahanku, atau memandangku dengan penuh kebencian. Justru yang sekarang terlihat adalah senyum penuh rasa sayang, senyum ketulusan, senyum kehangatan, senyum kebahagiaan.
Senyum yang bisa membuatku akhirnya tersenyum dalam tangisan.

Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Bahagia karena ternyata aku begitu dicintai dengan orang terdekatku. Bahagia karena ternyata ketulusan yang aku cari selama ini ada pada orang terdekatku. Aku menatap Ronn, dan bangkit untuk memeluknya. Sambil aku bisikkan meminta Ronn menjaga Kak Anya baik-baik dan mencintai Kak Anya selamanya. Ronn membalas pelukannya dengan sebuah janji seperti yang aku minta.
Aku pandang Dion, dan tanpa dikomando aku langsung terjatuh dalam pelukannya. Aku minta maaf padanya, dan berterima kasih bahwa selama ini Dion mau memahamiku, mau bersabar, dan melakukan ini semua untukku meski terkadang sikapku terlalu berlebihan dan menyakitkan bagi Dion. Tanpa berkata sepatah katapun, Dion hanya membalas pelukanku lebih erat dan mencium keningku penuh cinta. Matanya menatap mataku, dan aku percaya dia akan menjadi pahlawanku selamanya. Sekali lagi Dion mencium keningku, dan kali ini aku benar-benar bisa tersenyum. Bahagia.

Rencana pertunangan ‘bersama’ kemudian dibahas lebih lanjut. Kali ini aku terlihat sangat antusias. Bukan hanya karena impianku bersanding dengan Dion akan terwujud, tapi karena aku tidak ingin membuat Kak Anya kecewa. Aku ingin membuat Kak Anya bahagia. Aku ingin meyakinkan semua orang bahwa aku dan Kak Anya adalah pasangan kakak-adik yang kompak dan saling menyayangi lebih dari hari kemarin. Dan janji itu berusaha aku tepatin.

“Pagi Kak. Udah bangun? Ayo dong bangun, masa udah jam segini masih molor aja? Jangan lupa mengucap syukur ya Kak, dan mudah-mudahan hari ini Kak Anya dipenuhi dengan berkat yang melimpah.”

Jika sebelumnya aku yang selalu menunggu Kak Anya menghubungiku, sekarang semuanya terbalik. Setiap bangun tidur aku selalu ingin menjadi orang pertama yang tau keadaan Kak Anya. Aku selalu berlomba dengan Ronn, membuat Kak Anya selalu terbahak jika mengangkat teleponku.
Hari-hari yang aku lalui terasa sangat indah. Terkadang aku menyesal mengapa baru sekarang merasakan ini. Tapi memang hidup adalah sebuah misteri. Dan aku percaya semuanya sudah ada dalam rencanaNya. Mungkin dengan aku mengalami hal ini, aku bisa belajar mengenai banyak hal.

Hari pertunanganku dengan Kak Anya akhirnya tiba. Tetapi karena ada masalah dengan pekerjaannya, Kak Anya harus keluar kota sejak kemarin dan akan tiba pagi ini. Agak aneh memang, karena Kak Anya sudah mengajukan cuti jauh-jauh hari sebelumnya. Seharusnya Kak Anya tidak perlu lagi memikirkan urusan pekerjaan karena sudah ada pejabat pengganti selama Kak Anya cuti. Tapi itulah sifat Kak Anya. Sebagai seorang Kepala Bagian yang bertanggung jawab terhadap operasional wilayahnya, Kak Anya berinisiatif untuk terjun langsung, begitu mendengar pejabat penggantinya sedang berhalangan, bahkan mau mengorbankan kepentingan pribadinya. Hari yang telah lama Ia impikan dan rencanakan.
Kak Anya hanya menulis pesan singkat bahwa aku tidak perlu mengkhawatirkan dia, karena Kak Anya keluar kota bersama Ronn. Dan Ia berjanji akan tiba tepat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kak Anya memintaku untuk berdandan dulu, kemungkinan Kak Anya akan berdandan sendiri, tidak menggunakan jasa perias yang telah kami sewa dengan alasan waktu yang tidak memungkinkan untuk dandan di rumah. Aku maklum, karena Kak Anya memang seorang penari yang dituntut untuk bisa merias dirinya sendiri.
Sambil menunggu Kak Anya, aku mulai bersiap di depan perias sambil terus berusaha menghubungi telepon genggam Kak Anya, menanyakan keberadaannya. Tak seperti biasanya, kali ini Kak Anya hanya sesekali membalas pesan yang kukirim. Jika aku menelepon, Kak Anya tidak meresponnya. Sempat aku merasa ada sesuatu yang tidak wajar, tetapi Dion yang menjadi tempat keluh kesahku selalu mengingatkanku untuk tidak berpikir hal-hal negatif. Aku tidak boleh berpikir macam-macam. Aku harus percaya jika Kak Anya akan selalu menepati janjinya.

Tepat pada jadwal yang telah ditentukan, Dion datang sendiri, tidak dengan keluarganya. Aku agak heran, apalagi ketika aku keluar kamar, aku tidak melihat Ayah dan Ibu menyambut Dion. Dion langsung mengetuk pintu kamar tempat aku dirias dan memandangku dengan pandangan yang tidak biasanya. Sesaat aku merasakan ada ketidakberesan. Sambil menaruh pandangan curiga, aku segera bertanya kepada Dion ada permainan apa lagi yang tidak melibatkan aku. Dengan lembut Dion memeluk aku dan mengatakan jika lokasi pertunangannya dipindahkan. Tidak di rumah ini. Dan ini tanpa persetujuanku. Aku sedikit kecewa, bagaimanapun juga ini adalah saat-saat bahagiaku. Sekali terjadi dalam hidupku. Tapi mengapa aku merasa sedikit dipermainkan?
Tanpa ingin menaruh curiga pada siapapun, aku menuruti kata-kata Dion dan segera berangkat ke lokasi yang dimaksud oleh Dion. Sepanjang perjalanan aku membayangkan kejutan apalagi yang akan dilakukan Kak Anya. Sambil sesekali melirik Dion yang erat menggenggam tanganku. Dion hanya sesekali melihat ke arahku dan tersenyum. Selebihnya hanya diam dan berkonsentrasi menyetir. Pasti gugup, batinku. Aku semakin membayangkan aku dan Kak Anya, memakai gaun yang sama, tertawa bahagia bersama, berbagi sampagne berdua. Dan pasti akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi kami berdua.

Untuk sesaat, bayangan kebahagiaanku harus terganggu ketika Dion membelokkan mobil yang kami tumpangi ke sebuah rumah sakit. Ketika aku menunjukkan wajah penuh tanda ingin protes, Dion segera menggandengku untuk keluar dan mengikutinya menuju sebuah kamar rawat VIP. Ketika aku membuka kamar, kulihat orang-orang yang sangat aku kenal, Ayah dan Ibu, kedua kakak lelakiku dan istrinya masing-masing, Ronn, kedua orang tua Dion, orang tua Ronn. Tanpa pikir panjang aku segera bergegas menuju ranjang dan kulihat Kak Anya terbaring tak sadarkan diri lengkap dengan gaun tunangannya, riasannya yang hampir luntur, dan selang yang terikat pada hidungnya. Jarum infus tampak melekat pada tangannya, dan monitor pemantau kesehatan yang ada di sekelilingnya mengeluarkan bunyi yang aku tidak pernah menyukainya.

Aku terpaku menatap Kak Anya. Pucat, tapi selalu ada seyum disana. Pandanganku kosong. Aku tidak mengerti. Aku tidak ingin mencari tau. Aku hanya bisa terdiam. Tapi batinku sakit. Sangat.
Perlahan Dion memelukku, menggengam tanganku, dan memintaku untuk duduk. Aku menurut bagaikan robot. Dion kemudian menceritakan keadaan Kak Anya.
Ternyata selama ini Kak Anya mengidap penyakit yang lumayan parah. Kak Anya tidak pernah mengeluh akan penyakitnya. Tidak kepada siapapun. Dan mungkin karena terlalu lelah menyiapkan pertunangannya dan rencana untuk mengambil beasiswa keluar negeri, kondisi Kak Anya menjadi sangat menurun. Dan ketika akan keluar kota, Kak Anya sempat pingsan dan dibawa ke rumah sakit oleh Ronn. Setelah sempat sadar, Kak Anya hanya meminta satu hal pada Ronn, bahwa aku tidak boleh mengetahui kondisi Kak Anya. Semua keluarga harus menjaga perasaanku agar tetap bersemangat menyambut hari pertunangan kami. Itulah mengapa Kak Anya tidak pernah merespon panggilan teleponku. Kak Anya melakukan ini karena tidak ingin membuat aku kecewa melihat semangat kebahagiaanku menyambut hari ini.
Dan tadi pagi, Kak Anya sempat sadar, kemudian meminta Ronn untuk membantu memakai baju pertunangannya, merias semampunya, karena teringat akan janjinya padaku akan datang tepat pada waktu yang telah kami rencanakan.

Kak Anya memang menepati janjinya, tetapi tidak sempurna. Akupun jatuh tak sadarkan diri.

0 comments on ",, Nokyanya Zetaedo .."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez