Friday, February 5, 2010

.. oh, Lala ..


Namaku Lala. Aku seorang single mother dari seorang anak laki-laki berumur 4 tahun. Awalnya kehidupanku sungguh luar biasa bahagia. Seorang istri dari suami yang bekerja di perusahaan Internasional dalam bidang perminyakan, pasti bisa dibayangkan bagaimana kehidupan perekonomian keluargaku. Seorang istri dari suami yang hampir seluruh saudara kandungnya juga bekerja pada bidang yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak terusiknya alur transaksi di rekeningku untuk hal-hal yang berbau bantuan untuk keluarga. Aku bebas menentukan seluruh uang keluar dalam rumah tanggaku. Entah untuk tabungan, untuk foya-foya, untuk kecantikan, untuk apapun yang aku mau. Karena suamiku sangat mempercayaiku.
Sampai suatu ketika….
Aku adalah seorang sekretaris lulusan salah satu akademi sekretaris terkenal di Jakarta. Sebenarnya ini bukan cita-citaku. Aku dulu ingin menjadi seorang ekonom. Tapi karena aku tidak diterima di perguruan tinggi favoritku, maka aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan mendaftar di akademi sekretaris. Hanya satu yang kupikirkan saat itu, posisi seorang sekretaris pastilah lumayan mudah untuk mendapatkan pekerjaan di semua bidang perusahaan, karena jaman sekarang sangat jarang seorang pengusaha yang meng-handle rencana kerjanya tanpa membutuhkan seorang sekretaris. Apalagi biasanya yang dicari adalah seorang sekretaris dari akademi ternama yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya.
Aku memang bukan terlahir dari keluarga tidak mampu yang diharuskan untuk segera bekerja setelah selesai menimba ilmu. Sebagai seorang puteri dari pejabat daerah, sebenarnya kedua orang tuaku cukup mampu untuk menyekolahkan aku di luar negeri. Tetapi memang aku sudah terbiasa mandiri dan tidak terlalu peduli dengan kekayaan yang dimiliki orang tuaku, maka aku mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah yang ‘hanya’ setingkat diploma. Aku mempunyai prinsip bahwa kewajiban pembiayaan sekolah oleh orang tua hanyalah sampai Sekolah Menengah Atas. Melanjutkan pendidikan di tingkat kuliah hanyalah dianggap sebagai bonus. Karena aku merasa gagal mangambil bonus yang ditawarkan orang tuaku dengan kuliah di Universitas negeri, maka aku juga harus konsisten untuk tidak mengambil bonus yang ‘harganya’ lebih dari bonus semula.
 
3 tahun aku mendapat ilmu kesekretarisan, akupun lulus dengan nilai yang lumayan memuaskan. Sebagai puteri daerah dan seorang perantauan, aku dianggap berhasil. Tapi aku belum puas karena aku belum membuktikan sendiri berapa ‘nilai’ yang akan kudapat pada saat bekerja nanti. Dan untungnya, tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari pekerjaan, aku akhirnya diterima di sebuah perusahaan nasional berskala besar sebagai sekretaris divisi yang kantornya terletak di kawasan segitiga emas ibukota dimana sekitarnya juga banyak terdapat perusahaan-perusahaan besar yang  berskala Internasional.
Pekerjaan pertamaku kunikmati dengan sungguh-sungguh. Puas sekali rasanya aku dapat membuktikan bahwa aku mampu bersaing dengan teman-teman yang masih berusaha mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Segala kegiatan kantor dan lingkungannya aku ikuti. Dari ritual makan siang dikantor, dikantin gedung, sampai di mal terdekatpun aku tak pernah ketinggalan. Clubbing, entertaining, socializing, apapun bentuknya itu juga aku datangi. Sehingga dalam waktu tidak lama akupun sudah mempunyai banyak kenalan teman dari berbagai macam perusahaan tempat aku beraktivitas non-office-hour tadi.
 
Salah satunya Dwi. Ia adalah seorang putera daerah yang bekerja di perusahaan asing dalam bidang perminyakan. Memang frekuensi kami ketemu sangat jarang, mengingat Dwi mempunyai jam kerja yang ‘khas’ minyak. 1 bulan di darat, 1 bulan di laut. Dan Ia pun harus sering bepergian ke luar negeri, diseluruh cabang perusahaannya berada. Terkadang Ia bisa di Timur Tengah, terkadang di Afrika, ataupun di Amerika. Karena inilah maka Dwi jarang terlihat di acara kumpul-kumpul kami.
Aku dan Dwi bertemu di saat kami sedang ada acara clubbing bareng di sebuah club terkenal di ibukota. Kebetulan saat itu dia sedang off dalam pekerjaannya. Dan karena pada dasarnya aku kurang suka dance atau bahasa kerennya nge-floor, maka seperti biasa aku hanya duduk di sofa, menikmati musik yang disajikan. Pada saat itulah Dwi melihatku dan memutuskan untuk mengajakku ngobrol.
Kami ngobrol banyak malam itu sambil ditemani bir berkadar alcohol yang cukup rendah, sehingga pembicaraan kami terasa sangat mengasyikkan tanpa terpengaruh suasana yang cukup ramai.
 
Ternyata Dwi seorang yang sangat cocok denganku. Dia selalu bisa membuatku tertawa, berbagi banyak hal yang terkadang menurutku tidak penting. Tetapi Dwi bisa membuat hal tersebut menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Dan dia tidak sungkan sama sekali untuk bercerita tentang keluarganya. Karena sama-sama sebagai seorang perantauan, aku dan Dwi cepat merasa akrab, merasa senasib dan sepenanggungan.
Setelah perkenalanku dengan Dwi, aku dan Dwi mantap untuk melanjutkan hubungan kami lebih seius dengan menikah. Ya, Dwi melamarku 4 bulan setelah itu. Tanpa pikir panjang akupun menerima lamarannya.
Dimataku Dwi adalah laki-laki yang nyaris sempurna. Dari segi fisik, dengan tinggi 185cm dan berat 75 kg, berkulit terang, dan dihiasi 5-o’clock-shadows, menjadikan wajahnya terlihat tampan. Apalagi ditunjang dengan keimanannya yang juga cukup kuat, kepintarannya berbahasa asing dan penghasilannya yang tidak menggunakan mata uang negara ini, pasti tidak sedikit gadis-gadis yang sangat ingin mendapatkannya. Dan entah mengapa Dwi justru memilih aku. Mungkin karena kita satu suku, lebih mudah memahami, dan motivasiku berteman dengan dia juga bukan karena uang lah yang membuat Dwi jatuh cinta padaku.
Bagai mendapat durian runtuh, aku merasa menjadi wanita yang sangat sempurna. Apalagi tak lama setelah kami menikah, aku langsung dinyatakan hamil. Tidak sia-sia rasanya aku mempertahankan mahkotaku yang akhirnya bisa kupersembahkan kepada laki-laki yang kupilih pada malam pertama, sehingga kehamilanku ini sungguh terasa istimewa. Meski Dwi tidak setiap saat bisa menemaniku karena jam kerjanya yang sangat berbeda dengan orang kantor, aku bisa menerima semuanya itu. Karena ketika Dwi pulang ke tanah air, dia selalu memanjakan aku dan calon bayinya.
 
Aku memang berkelimpahan harta dari suamiku, tapi hal ini tidak membuat aku menjadi buta harta. Sedikit demi sedikit kusisihkan uang dari suamiku, dan persis sebulan sebelum bayi kami lahir, aku sudah bisa membeli rumah di daerah Pasar Minggu. Lumayan kan buat investasi? Tapi karena aku masih bekerja, suamiku memutuskan untuk tidak menempati rumah tersebut dengan alasan terlalu jauh jaraknya dan khawatir akan mengganggu kesehatanku. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap mengontrak rumah yang lebih dekat jaraknya dengan kantorku.
Bayiku lahir dengan selamat. Laki-laki dan sangat mirip dengan Dwi. Kami sepakat memberinya nama Junifco. Dan sejak kehadiran anakku, rejeki keluarga kecil kami semakin bertambah. Sampai akhirnya kami berhasil membeli sebuah rumah di daerah Pancoran dan membeli 2 mobil baru. Tak ada kekurangan yang aku alami pada masa ini. Anakku tumbuh sehat, suamiku berhasil dalam karirnya, sungguh, tak pernah berhenti aku bersyukur atas semuanya ini. Tuhan sangat menyayangiku sehingga memberiku berkat yang luar biasa.
 
Dua tahun setelah anakku lahir, aku mulai merasakan ada yang aneh pada suamiku. Biasanya setiap pulang ke tanah air, Dwi hampir tidak pernah sebentarpun meninggalkanku dan Junifco. Dalam acara apapun, Ia berusaha untuk selalu mengajak kami berdua. Tetapi kali ini, justru malah terjadi yang sebaliknya. Aku merasa Dwi agak alergi jika melihat aku dan Junifco kami. Jarang sekali menyempatkan untuk bersantai bersama kami. Kehidupan sexual ku pun agak sedikit terganggu. Jika biasanya Dwi selalu membuatku melayang mencapai puncak, kali ini menyentuhku pun hanya ala kadarnya.
Pernah aku mengajaknya bicara menanyakan mengapa Ia melakukan ini padaku dan Junifco. Sebagai seorang istri, aku sudah berusaha tidak macam-macam. Kehidupanku sehari-hari hanya sebatas kantor dan rumah. Ke mal atau nongkrong di coffe shop pun bisa dihitung dengan jari. Aku berprinsip ingin menjadi seorang ibu dan istri yang benar. Itu saja. Tetapi Dwi hanya diam dan mengatakan tidak ada masalah apapun. Hanya ada sedikit masalah di kantor, tuturnya. Dan aku tidak percaya.
Kejadian ini berlangsung sampai berbulan-bulan. Mulanya aku hanya bersabar, dan berharap Dwi akan berubah dan kembali menjadi seorang Dwi seperti yang aku kenal. Dan ternyata tidak. Aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang ada dalam hatiku. Tanpa sengaja aku melihat isi dompet Dwi diatas meja ketika pemiliknya sedang mandi pagi itu. Ada beberapa kertas yang terselip keluar, maksud hati ingin merapikannya, tetapi terlihat kertas tersebut adalah nota hotel yang seingatku tak pernah kami menginap disana.
Belum selesai aku membaca semua itu, Dwi memergoki aku dan marah, menuduhku sudah dengan sengaja membuka isi dompetnya. Ketika kujelaskan maksudku semula, hanya hardikan dan kata-kata makian yang kuterima. Aku berontak. Aku bukan wanita tipe penyerah. Ketika kutanya dengan siapa dia menginap, dengan sombongnya dia berkata dengan wanita bayaran. Dan dia mengaku jika ini bukan yang pertama kali dia melakukan itu. Hampir setiap hari dia berbuat ini. Ya Tuhan, setengah memekik aku menjerit. Jadi ternyata setiap sebelum berhubungan sexual denganku, Dwi sudah melakukannya dengan wanita lain. Tak kusangka dia setega itu padaku. Bahkan ketika aku mengatakan bahwa aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan saluran kencingku kala itu, yang menyebabkan aku mengalami semacam keputihan akut, dia hanya menyuruhku untuk pergi ke dokter dan berpesan untuk menjaga kebersihan di daerah organ kewanitaanku. Ternyata justru dialah yang selama ini kotor. Justru dia yang tak pernah menjaga miliknya, malah memilih untuk membaginya dengan wanita yang bukan istrinya.
 
 
Setelah peristiwa itu, hubungan ku dengan Dwi mulai dingin. Kami sudah tidak pernah lagi saling menganggap seperti suami dan istri. Memang tidak baik untuk perkembangan psikology Junifco, tetai jika mengingat apa yang telah Dwi perbuat terhadapku, rasa sakit itu kembali datang. Tidak bisa kupungkiri. Tetapi, atas nama Junifco, aku memilih untuk mengalah dengan keadaan ini. Aku mencoba untuk membuka lagi jalur komunikasi dengan Dwi yang sempat terputus dengan harapan Dwi mau mengatakan sejujurnya mengapa dia melakukan semua ini dan mau memperbaiki keadaan rumah tangga kami. Karena bagaimanapun juga kami mempunyai tanggung jawab yang dititipkan oleh Tuhan, yaitu Junifco.
Dan malam itu, kami memilih untuk berbicara layaknya orang dewasa, tanpa menyertakan emosi di dalamnya. Dwi menceritakan kalau dia merasa tertekan selama ini. Karena orang tuanya. Ibunya berkata bahwa Dwi tidak terlihat bahagia denganku. Aku hanya mementingkan kepentingan ku sendiri tanpa memperhatikan suamiku. Awalnya Dwi membantah dan dia berkata kalau selama ini dia baik-baik saja. Tetapi Ibunya tidak percaya dan malah menyarankan Dwi untuk menceraikan aku. Dwi yang tidak mengerti akan sikap Ibunya justru melarikan diri dengan berfoya-foya, mabuk-mabukan dan main perempuan. Pengaruh Ibu bagi Dwi dan saudara-saudaranya memang cukup besar. Mereka sangat menghormati apa yang menjadi keputusan Ibunya. Apapun yang Ibunya inginkan, mereka selalu berusaha untuk mengabulkannya. Dan ternyata, hampir semua saudara Dwi disarankan untuk bercerai oleh Ibunya. Aku tidak mengerti mengapa Ibu mertuaku yang sudah kuanggap sebagai Ibuku sendiri tega berbuat demikian. Aku merasa tidak pernah menyakiti beliau. Semua yang kulakukan berdasarkan hati yang tulus. Tapi ternyata dipandang sebelah mata olehnya. Dwi pun memutuskan untuk menceraikan aku.
 
Jujur, aku kaget, marah, kecewa, tapi aku hanya bisa diam. Tidak bisa berkata sedikitpun. Aku hanya termenung, mencoba mencari apa kesalahanku, mencoba memahami bagaimana perasaan Dwi ketika mendengar perintah itu dari Ibunya. Aku hanya bisa mengajukan satu syarat jika aku dan Dwi sudah bercerai, Ibunya tidak boleh melihat Junifco.
Dan ketika hal ini disampaikan kepada Ibunya, dia hanya berkata bahwa hal itu bukan suatu masalah, karena menurutnya Junifco bukan cucu satu-satunya. Dan Ia rela demi itu asal anaknya bisa secepatnya berpisah denganku. Ya Tuhan, terbuat dari apakah hati Ibu ini? Sampai Ia juga ternyata tega tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri. Jika memang tidak berkenan terhadapku, aku tidak masalah. Tetapi ketika kupancing dengan syarat itu, kenapa juga dia tidak merasa kehilangan sama sekali?
Aneh memang. Bahkan sampai sekarang pun aku masih tidak mengerti alasan Ibu mengapa mengambil keputusan itu.
 
Dwi sudah mendaftarkan gugatan cerainya terhadapku, dengan alasan sudah tidak ada kecocokan lagi. Sidang demi sidang aku lalui dengan ikhlas. Apa yang kuharapkan untuk dapat kembali seperti dulu tidak akan mungkin terjadi. Karena Dwi pun sudah menikah kembali bahkan ketika palu hakim belum diketuk. Aku hanya bisa berdoa semoga perkawinannya kali ini bisa sampai maut yang memisahkan. Aku cukup bersyukur karena Junifco jatuh pada hak pengasuhanku. Meski belum mengerti apa kata cerai, aku bersyukur perkembangan psikologi Junifco tidak terlalu terganggu dengan keadaan ini. Dan untuk menghindari hal-hal buruk, aku sengaja menitipkan Junifco pada mamaku di kampung dengan 2 minggu sekali aku pulang untuk melepas rindu pada anakku semata wayang.
 
Aku tak pernah mengeluhkan soal harta. Bahkan pembagian harta gono-gini yang kurasakan sangat tidak adil pun, aku terima dengan rela. Aku tidak mendapat apapun dari Dwi. Aku hanya meminta apa yang menjadi hak anakku. Bagiku harta bukan segalanya. Meski aku tidak munafik, aku juga butuh uang untuk hidup, tapi aku percaya selalu ada jalan bagi manusia yang mau berusaha dan percaya kepadaNya. Perlakuan Dwi kepada Junifco lah yang membuat aku akhirnya menuntut lebih dari itu.
Dwi seakan tidak pernah mempunyai seorang anak. Dia tidak sedikitpun peduli tentang apa yang terjadi pada Junifco. Yang ada dalam pikirannya hanya ingin secepatnya berpisah denganku. Ya, Dwi memang sudah berubah. Total.
 
Sekarang aku sudah sendiri, tidak bergantung pada siapapun. Dan ini adalah sudah suratan hidup yang memang harus aku alami. Aku harus bisa menjadi seorang Ibu dan seorang Ayah sekaligus bagi Junifco. Aku harus bisa membiayai hidupku dan anakku. Hanya Junifco lah yang menjadi penyemangat ku sehari-hari. Kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya yang selalu mengingatkanku untuk tidak menangis, untuk tidak bersedih, untuk selalu tertawa lah yang akhirnya membuatku menjadi kuat seperti sekarang ini.
Padahal aku tau, Junifco tidak mengerti mengapa aku menangis, mengapa aku sedih, mengapa aku harus tertawa, tapi aku percaya, dialah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menopangku, untuk mengingatkanku supaya tetap bersyukur dalam segala keadaan.
Dan hal ini memang nyata, setelah apa yang aku alami, sekarang aku mampu berdiri sendiri, aku  mampu berjuang demi kehidupan ku selanjutnya. Dan aku percaya, jika aku menjalani semuanya dengan tulus, aku pasti akan berhasil. Dalam segala hal.
Terbukti kan, sekarang aku bisa membiayai kuliahku, mengejar cita-cita ku menjadi seorang ekonom, memberikan kebahagiaan yang layak untuk Junifco dan pastinya aku sudah tidak menutup diri untuk bergaul lagi dengan teman-teman pria ku. Diantara mereka pasti ada yang terbaik untukku suatu saat nanti. Siapa tau ?
 
 
.. seperti yang diceritakan langsung oleh Lala, ketika saya bertemu dengannya di O Lala Café di bilangan Sarinah.
Pesan buat Lala, mungkin kisah ini belum menceritakan kamu sepenuhnya, tapi sebagian kisah hidupmu menginspirasi saya. Saya mungkin terlihat tegar, tapi tak lebih tegar darimu. Dan semoga kamu tetap menjadi Lala dengan Junifco di belakangmu, dan saya percaya kamu mampu mewujudkan apa yang kamu mau. Karena, ketika kamu lemah, kekuatanNya akan menjadi sempurna..

0 comments on ".. oh, Lala .."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez