Drrt, drrt..
Bunyi getar ponselku memanggil. Segera aku lihat layar dan tertulis ‘1 message received’. Kubuka pesan itu dan ternyata pengirimnya adalah ‘DK’. Inisial nomor kendaraan salah satu wilayah di Indonesia dan sebagai sekaligus panggilan khususku untuknya.
‘Lagi ngapain? Jalan-jalan yuk, mumpung udara lagi adem nih’ bunyi pesan itu singkat, sesuai fungsinya.
Segera aku pencet tombol reply dan mengetikkan pesan balasan, ‘ok, jemput aku ya?’
Tak lama kemudian ponselku bergetar kembali dan segera tampak kalau pesan yang diterima adalah dari DK. ‘siap meluncur!!’
Aku pun bergegas berganti baju dan bersiap-siap di depan rumah menunggu dia menjemputku.
Setelah lelah berputar-putar dengan motor kesayangannya, DK mengajakku untuk mengunjungi keramaian di sekitar daerah Masjid Agung Kemayoran. Tanpa pikir panjang, akupun mengiyakan, karena memang sore itu aku juga sudah merasa terlalu penat dengan kegiatanku.
DK kemudian memarkir motornya dan mulai menggandeng tanganku untuk menyusuri sepanjang jalan itu. Tidak banyak yang kami perbincangkan, hanya sesekali bertanya kabar atau membahas berita-berita seputar sepakbola. Maklumlah, aku dan DK memang penggemar fanatik sepakbola dari team yang berbeda. Dan jika kami sudah membicarakan tentang hal ini, yang kemudian terjadi adalah saling adu urat, mengatakan kalau team nya yang paling pantas menjadi juara liga tahun ini. Akhirnya pun bisa tertebak kalau aku akan ngambek bila DK mulai menyebut team kebanggaannya terus menerus tanpa mau mendengarkan argumenku.
Melihat aku sudah mulai dengan tampang yang tidak-enak-dilihat-menurutnya, DK kemudian mengajakku untuk menyeberang ke jalan menuju kompleks Rumah Susun. Sore itu memang kegiatan di seputar Masjid Agung Kemayoran tampak terpusat pada jalan menuju kompleks rusun tersebut. Padahal biasanya sepanjang jalan masuk menuju Masjid Agung Kemayoran, dan di sekeliling apartemen yang terdapat di kompleks itu terlihat berbagai macam pedagang dengan barang dagangannya. Dari yang hanya berjualan makanan kecil seperti gorengan atau kebab, makanan besar seperti pecel lele, berbagai seafood, sampai dengan barang elektronik, pakaian, sticker, dan lain sebagainya. O, rupanya ada beberapa petugas keamanan yang berjaga-jaga di sekitar apartemen. Mungkin sedang ada semacam penertiban, batinku.
DK tampak tidak peduli dengan ketidak biasaan ini. Dia tetap menggandeng tanganku menuju ke suatu tempat yang aku pun tidak tahu bakal ada disana.
“Kita mau kemana sih D?” tanyaku.
“ Udah, ikut aja. Kayanya aku lihat sesuatu yang selama ini kamu pengen” kata DK galak.
“D! Lihat ! Ada tukang jual kelinci !” teriakku berseri-seri.
DK hanya tersenyum sambil memandang wajahku tampak ingin mengatakan sesuatu. Tak kuhiraukan pandangannya itu, segera aku berjalan tergesa menuju tukang jualan kelinci itu. Dan segera berjongkok di depan kandang kelinci supaya bisa melihat lebih jelas. Rupanya ini yang dilihat DK dari kejauhan tadi. Hmm,memang susah kalau mempunyai mata yang minus seperti aku ini. Sudah tau bermata cacat, tidak pernah mau pakai kacamata lagi. Akibatnya sering terlambat mengetahui sesuatu yang terjadi apalagi kalau melihat dari jarak yang lumayan jauh.
“Lucu-lucu ya D” kataku pelan. “Yang matanya merah, lihat deh D, lucu sekali. Yang matanya gothic D, lihat! Kira-kira umur berapa dia? Jenis apa ya D?” aku terus berbicara tanpa peduli apakah DK mendengarku atau tidak. Aku benar-benar terkesima melihat tingkah kelinci-kelinci kecil itu. Memang beberapa bulan yang lalu aku sempat membahas soal kelinci dengan DK, dan betapa inginnya aku mempunyai peliharaan seekor kelinci. Karena lama tidak terwujud, aku sebenarnya hampir melupakan keinginanku itu. Dan ternyata DK mampu membangkitkan mimpi lama ku.
Ketika sadar bahwa DK tidak menjawab pertanyaanku tadi, akupun berdiri dan melihat sekeliling, ternyata memang dari tadi aku bicara sendiri, tidak kutemukan sosoknya didekatku berjongkok tadi. Kepalaku kemudian berusaha mencari keberadaannya dan terlihat dia sedang berbicara dengan seseorang yang kalau melihat dari tampangnya, tampak seperti si tukang penjual kelinci.
“D! Kamu kok ninggalin aku sih? Orang diajak ngomong juga!” hardik ku begitu aku sampai di dekatnya. DK yang menyadari kedatanganku hanya tersenyum, merangkulku dan membawaku mendekat ke kandang kelinci.
“Udah, jangan marah, tuh bawa!” kata dia sambil menunjuk kandang kecil yang dibawa oleh penjual kelinci yang tadi sedang ngobrol bersamanya.
“Apaan nih D? Kamu beli? Serius?” kataku sambil menerima kandang beserta dua ekor kelinci yang sempat membuatku terkesima tadi. Ya, si mata merah, dan si mata gothic.
“Iya, buat kamu. Yuk, pulang, udah hampir gelap” Jawab DK singkat sambil mengajakku untuk meninggalkan lokasi itu.
Sepanjang perjalanan dari Masjid Agung sampai di rumah, tak henti-hentinya aku mengajak ngobrol dua kelinci baruku. Sampai-sampai DK harus berulang kali mengingatkanku untuk berpegangan pada pinggangnya.
Sampai di depan rumah, tak seperti biasanya, DK langsung pamit mau pulang. Lagi ada urusan, jawabnya seperti biasa ketika kutahan dia untuk mampir sebentar.
“Trus, enaknya dikasi makan apa ya D kelinci ini? Oya, kandangnya gimana D? Gak mungkin kan selamanya mereka ada dikandang kecil ini?” tanyaku sebelum Ia menyalakan mesin motornya.
“Mm, sepertinya sayuran, coba nanti kamu browsing, makanan apa yang baik buat kelinci. Soal kandang, nanti aku pikirkan. Oya, jangan lupa, diberi alas ya bawah kandangnya ini, supaya air kencingnya tidak kemana-mana dan kamu tidak repot untuk bersihkan kotorannya. Ya udah, aku pergi dulu, kalau ada apa-apa, telpon aku aja.” Jelasnya panjang lebar.
“Siap bos! Hati-hati di jalan.” Kataku sambil membalas lambaian tangan DK.
‘D, kamu dimana? Tau gak, aku udah nemu makanan yang cocok untuk kelinci-kelinci itu. Ternyata ada juga makanan khususnya, kaya pellet gitu D. Nanti kita beli ya D, di pet shop kayanya ada deh.’ Sms kukirim ke DK satu jam kemudian.
‘D, lucu deh, masa dia makan wortel sambil berdiri. Eh, tau-taunya yang matanya gothic kepelanting D. Mungkin dia belum bisa berdiri kali ya? Nanti kamu harus liat aksinya D!’ Sms kukirim lagi ke DK setengah jam kemudian.
‘Eh, dia pipis D, gak bau kok. Gak seperti yang ada di internet. Pup nya juga bagus, gak mencret. Jadi makanan yang aku kasi cocok buat dia ya D?’ Sms kukirim 5 menit setelahnya.
Terlalu asyik melihat tingkah laku kelinci-kelinci itu, membuat aku tak sadar bahwa 3 sms yang aku kirim ke DK belum dibalas. Merasa aneh, akupun segera mengambil ponsel bermaksud untuk menelpon DK. Saat sedang mencari nomornya di menu phone book, tiba-tiba ponselku berbunyi dan ternyata dia yang menelpon duluan.
“Hallo DK, kamu kemana aja sih? Aku sms kamu 3x kok gak dibalas?” semburku begitu aku memencet tombol OK untuk menerima panggilannya. Kebiasaan buruk yang selalu kulakukan. Untung yang menelpon adalah DK, coba kalau yang menelpon adalah orangtuaku, sudah pasti aku yang balik kena semprot. Tersadar akan kalimat penerimaanku yang tidak sopan, aku pun meminta maaf pada DK yang dalam bayanganku dia sedang cemberut. “Maaf ya D, aku gak bermaksud..”
Sebelum sempat bicara lebih lanjut, DK segera memotong perkataanku. “Udah, ntar aja minta maafnya. Sekarang cepat buka pintunya, dari tadi aku ketok-ketok gak ada yang nyaut.”
Sebelum DK mulai mengomel panjang lebar, aku segera beranjak ke pintu depan dan mendapatinya sedang cemberut dengan sebuah kandang yang lumayan besar ditangannya. Pantas saja dia ketus gitu, pastinya dia capek membawa kandang buat kelinci yang tadi sore diberikannya padaku, batinku geli sambil membayangkan DK dengan motor dan kandangnya.
Setelah dengan susah payah untuk mendapatkan sebuah kata maaf dari DK, akupun akhirnya dapat tersenyum puas sambil memperhatikan dua ekor kelinci itu dalam kandang barunya. Sekilas, aku melirik kearah DK, tampak olehku diapun tersenyum sambil membayangkan sesuatu. Entah apa itu, hanya terlihat dari sorot matanya yang hampir tidak berkedip memandang peliharaan kecil itu.
DK memang aneh, menurutku. Pertemuanku dengannya diawali dari sebuah ketidak sengajaan. Bali. Ya, ketika aku berlibur ke pulau Dewata itu 2 tahun yang lalu bersama Ryan, teman sesama back packer ku. Dan kebetulan saat itu ada sebuah perayaan keagamaan di Bali yang menyajikan pertunjukan ogoh-ogoh. Karena aku dan Ryan belum pernah menyaksikan acara semacam ini, maka kami begitu excited sekali dan berusaha melihat dari dekat bersama-sama dengan banyak orang yang punya pikiran sama denganku. Ketika itulah tanpa sadar aku terpisah dengan Ryan. Aku berusaha mencari sosok Ryan diantara ratusan orang, tapi tidak kulihat juga batang hidungnya. Dan karena sudah terlalu lelah dan hampir putus asa, aku menurut saja ketika kurasakan ada yang menarik tubuhku keluar dari keramaian.
“Gak usah takut, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin selamatkan kamu” bisiknya.
Entah ada pengaruh ke magis an Bali atau memang aku yang sudah agak putus asa, hati kecilku meyakinkan kalau orang yang ada didekatku ini adalah orang yang bisa kupercaya. Maka aku menurut dan mengikuti saja kemana dia melangkah.
Laki-laki itu membawaku ke pinggir jalan dan mengajakku duduk di bawah pohon. Memberi ku minum dari botol air mineral yang dibawanya. Kuambil botol itu sambil kulirik dia sekilas dan tampak dia mengenakan pakaian adat Bali. Oh, cowok Bali rupanya, batinku.
“Makasih.”kataku.
“Iya, sama-sama. Aku lihat tadi kamu seperti mencari sesuatu. Mencari siapa? Apa kamu mencari temanmu?” dia bertanya dalam logat Balinya yang cukup kental.
“Iya. Aku terpisah dengan temanku. Dan bodohnya, karena aku dan dia kesini dalam rangka liburan, kami sepakat untuk tidak membawa ponsel. Dan, aku tidak ingat apa nama hotel tempat aku menginap. Karena kita menginap di hotel yang khusus buat back packer gitu. Tapi kayanya di seputar Legian. Kamu tau jalan kesana?” tanyaku berharap cowok ini mau memberi tahu arah jalan menuju hotel tempat aku menginap.
“Oh gitu. Ya sudah, nanti saya antar. Saya tau daerah itu. Mudah-mudahan saja kita bisa menemukan hotel tempat kamu menginap.” Katanya.
Nama aslinya Ken Sinteisa. Tapi aku lebih suka memanggilnya dengan inisial DK. Inisial nomor kendaraan daerah asalnya. Begitu juga dengan dia, memanggilku dengan inisial B. Ayahnya keturunan Jepang dan ibunya gadis Jawa asli. Meski tidak ada keturunan dari Bali, DK sangat mencintai pulau ini, karena dari kecil dia dibesarkan di lingkungan yang sungguh menghormati budaya dan adat dari daerah lain. Orangnya tidak terlalu banyak bicara, jika tidak ditanya. Bertanya tentangku pun DK hanya ala kadarnya, ketika aku sudah kehabisan bahan pembicaraan. Sorot matanya tajam, dan penuh dengan makna. Itulah yang membuat aku merasa percaya bahwa DK adalah pria baik-baik. Matanya sangat indah, perpaduan antara Jepang dan Indonesia yang sangat apik. Bahkan aku sebagai wanita pun sejujurnya sangat iri melihat DK memiliki sebingkai mata yang sangat menawan.
Dan ternyata DK juga mempunyai feeling yang sangat kuat. Setelah Ia mendengarkan deskripsi hotel yang kuceritakan, tanpa kesusahan kami dapat menemukan hotel itu dan aku benar, Ryan pun menungguku di ruang tamu dekat pintu masuk. Setelah berkenalan dan mengucapkan terima kasih, serta tidak lupa untuk saling bertukar nomor telepon, DK pun pamit meninggalkan aku dan Ryan. DK hanya berpesan, ‘tolong simpan nomorku supaya kalau kamu tersesat lagi, aku bisa segera datang.’ Aku hanya mengangguk tanpa berani melihat DK.
Tidak lama setelah kejadian itu, DK pun pindah ke Jakarta, mengikuti ayahnya yang sedang mendapat proyek di Jakarta. Dan ternyata diapun masih ingat untuk meneleponku begitu tiba di Jakarta. Sampai sekaranglah akhirnya aku bisa bertahan untuk tetap dekat dengan DK meski dengan segala keanehan dan ke’cool’an nya.
“Hey, bengong aja sih! Ditanyain dari tadi gak jawab.” Tiba-tiba terdengar suara DK menegurku.
“Maaf D, tadi kamu tanya apa?” jawabku malu, takut ketahuan kalau dari tadi aku memandangi mata yang sangat kukagumi.
“Aku tanya, kamu mau kasih nama apa kelinci-kelinci ini? Masa mereka gak punya nama? Gimana mau manggilnya nanti?”
“Ya ampun D, aku bahkan sampai gak kepikiran. Aku terlalu excited akhirnya bisa punya peliharaan kelinci. Kamu ada ide D?”
“Hmm, menurutku Cipy dan Cimy lucu juga untuk nama kelinci. Tinggal kamu yang tentuin mana yang pas untuk nama cipy dan nama cimy”
“Jenius!! Kamu memang brilliant D. Okey lah, yang matanya gothic kita beri nama Cipy dan yang matanya merah kita beri nama Cimy. Gimana?”
“Deal with it.”
“Oya D, boleh tau gak, apa arti nama yang kamu berikan itu?”
“Mm, ada deh. Not now.” Jawab DK singkat yang menumbuhkan rasa penasaran di hatiku.
Hari-hari selanjutnya aku dan DK cukup disibukkan dengan mengamati tingkah laku Cipy dan Cimy. Segala gerakan yang mereka lakukan selalu bisa membuat kami tertawa dan menjadi bahan pembicaraan kami. Tak jarang malah justru akhirnya DK yang terlihat sangat perhatian terhadap Cipy dan Cimy. Di setiap sms atau telponnya, hal yang pertama dia tanyakan adalah kabar duo kelinci itu. Bagaimana makanannya, bagaimana pipisnya, bagaimana pup nya. Apapun akan dia tanyakan sampai dia mendapat jawaban yang jelas. Agak sedikit mengherankan memang, melihat track record DK yang selama ini sangat cool, menjadi sangat peduli terhadap sesuatu.
Awalnya entah karena apa, tiba-tiba sikap DK berubah. Jarang telepon, jarang sms, apalagi mampir ke rumah. Yang dulu biasanya sering nongkrong bareng, makan di luar, jalan-jalan, atau sekedar nonton, sekarang DK selalu punya alasan untuk menghindar. Tidak mengerti kenapa DK bersikap seperti ini padaku.
Pernah suatu ketika aku menanyakan tentang perubahan sikapnya ini, DK hanya menjawab singkat, ‘kamu akan tau jawabnya nanti’.
Kalau sudah begini, aku hanya bisa menghela napas. Aku memang tidak pernah bisa merubah DK menjadi orang lain. Mungkin memang sifat dia ini yang malah membuat aku selalu ingin dekat dengannya. Dan entah kenapa aku juga tidak pernah bisa marah bila DK berbuat demikian.
Sampai akhirnya aku mendapat jawaban setelah DK menghilang.
Sore itu angin bertiup cukup sejuk di kawasan Legian Bali. Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan menuju ke arah pantai. Tidak ramai seperti biasanya karena memang tidak musim liburan. Entah kenapa aku ingin sekali mengunjungi pulau ini. Tidak untuk mencari apapun, hanya mengikuti kata hati. Serasa ada perasaan yang sangat kuat yang menyarankan aku untuk membeli tiket pesawat dan segera mendarat di sini.
Sambil menikmati pemandangan pantai dan larut dalam pikiran sendiri, tanpa sengaja aku menangkap sosok yang sangat mirip dengan seseorang yang selama ini menghinggapi otakku. Dia berjalan kearahku sendirian dan memunduk sambil kakinya sesekali menendang kerikil yang ada di depannya. Seolah ingin bercerita tentang kegundahan hatinya. Semakin mendekat dan semakin yakin bahwa dialah orangnya. Hatiku berdesir. Dia tidak banyak berubah, hanya kulitnya yang agak tampak gelap, berambut gondrong dan tampak sedikit kurus.
“DK..” panggilku lirih.
“Ng,, B? kamu sedang apa disini?” DK menengok mendengar seseorang memanggil nama khususnya dan menjawab dengan gugup seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.
Aku yang mendengar jawaban DK seketika membalikkan badan dan bersiap untuk pergi. Aku tidak siap bertemu dengan DK, aku tidak ingin mendapat penjelasan apapun darinya. Masih terlalu sakit hati ini melihat wajahnya. Aku sudah cukup puas dengan kesimpulan yang aku buat selama ini. Tapi melihat gelagatku yang hendak berlari menjauh, DK segera memegang lenganku, menghalangi langkahku dan dan meraihku dalam peluknya.
“B ! Dengar! Aku memang pengecut, tapi kamu gak bisa lari dari kenyataan ini sekarang. Jangan pergi B, please. Kita perlu bicara.” DK semakin mengencangkan peluknya saat mendengar aku mulai terisak.
Aku tidak tau apa yang ada dalam hatiku, yang jelas, aku bahagia tetapi sakit hati. Bahagia aku ada dalam pelukan orang yang selama ini kurindukan, tetapi sakit jika teringat perlakuan DK akhir-akhir ini.
DK mengajakku untuk duduk di bawah pohon, menatap lurus garis horizontal yang memisahkan lautan dengan langit sore. Sambil memelukku dari belakang, DK menceritakan apa yang ia rasakan.
“B, aku minta maaf. Aku memang orang yang jahat sama kamu. Aku sudah mengorbankan perasaan kamu. Aku mau jujur B, sejak pertama kali melihat kamu, kenal sama kamu, aku memang tak bisa jauh dari kamu. Aku ingin selalu melindungi kamu dimanapun dan kapanpun kamu berada B. Aku selalu ingin mewujudkan apa yang kamu mau. Dan kamu tau alasan mengapa aku melakukan itu semua kan B? Aku memang tidak pernah berpikir bagaimana perasaanmu B. Aku terlalu terlena ketika akhirnya aku sadar aku tak bisa melakukan itu semua lagi B. Maafkan aku B, aku tidak pernah bisa jujur sama kamu. Aku malah lebih memilih untuk lari, menghindari kenyataan ini.”
Aku bisa merasakan DK mulai terisak. Aku berbalik dan segera mengusap air pipi DK yang sudah basah.
“D, maafkan aku. Memang kamu ada masalah apa selama ini? Boleh aku tau sekarang? Itupun kalau kamu mau cerita D.”
“Pasti B. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya. Kamu juga berhak tau apa yang sudah terjadi, karena secara tidak langsung, aku sudah mengorbankan perasaan kamu. B, aku mengidap penyakit kanker darah. Dan aku baru tau 2 bulan terakhir B, sesaat sebelum aku mulai jarang pergi sama kamu. Karena kondisi ku yang terus melemah, aku mohon untuk dapat pulang ke Bali, meski papaku ngotot menyuruh aku untuk pergi berobat ke Jepang. Tapi aku menolak B. Kalaupun aku harus meninggalkan semuanya, aku ingin meninggal di tempat ketika aku ketemu kamu pertama kalinya. Kamu tau B, bahkan aku juga sangat yakin kalau aku akan ketemu kamu di tempat ini suatu saat nanti. Dan ternyata keyakinanku terbukti B. Aku tau, kamu pasti akan datang. And, you see?” DK menghela nafas sambil berusaha tersenyum dan meneruskan kembali perkataannya.
“Hari ini aku ada jadwal check up ke rumah sakit, tapi hati kecilku berkata untuk menyuruhku berjalan menyusuri pantai ini, dan aku menemukanmu B. B, sekali lagi aku minta maaf telah menyakitimu selama ini. Tidak pernah menerima telponmu, tidak mau membalas sms mu. Tidak mau bertemu denganmu. Aku bahagia sekarang B, kapanpun Tuhan mau ambil nyawaku, aku siap. Aku sudah ungkapkan semuanya..”
Langsung kututup mulutnya dengan tanganku ketika dia belum selesai bicara. Kupandang mata indahnya. Mata yang selama ini selalu kucari, mata yang selalu membuatku berdebar. Mata itu memang masih seperti dulu, hanya sorotnya kurasakan agak melemah. Dan dibawah matanya kulihat segaris tipis kehitaman. Mungkin kelelahan menghadapi semuanya ini sendiri. Perlahan, kukecup keningnya, dan segera kurengkuh dia dalam pelukku. Aku tak bisa berkata apapun, hanya hatiku yang menjerit, ‘DK, aku sayang kamu, mulai sekarang kamu tak akan sendirian. Aku akan menemani kamu D, menjalani pengobatan mu, dan aku percaya kamu pasti sembuh. Aku yakin, kamu pasti kuat. Aku tak akan jauh dari kamu D. Percaya sama aku ya?’
Kucium sekali lagi rambutnya. Wangi itu masih sama. ‘Ah, DK, aku sayang kamu, sayang banget sama kamu.’ berkali-kali kuucapkan kalimat itu. Dan baru aku tersadar, ternyata DK tidak lagi memelukku. Aku mulai merasakan tubuh DK melemah. Kulihat matanya, terpejam. Kulihat mukanya, pucat. Kuguncang bahunya, tetap tidak bergerak. Aku menangis sambil memeluk DK, tidak peduli beberapa orang yang mendekat dan berusaha bertanya kepadaku.
“DK, banguuunnn!!”
Aku terus berteriak berharap DK mau mendengar dan kemudian memelukku.
Awal January yang basah, 2010
-- untuk seseorang, memang terkadang sesuatu itu tak perlu penjelasan, semoga kamu berbahagia disana --
0 comments on ".. memory cipy-cimy.."
Post a Comment