Sunday, November 15, 2009

.. Cigar - Retta ..




Selembar daun kering jatuh tepat di pangkuan Retta. Perempuan itu sedang duduk berpangku tangan sambil matanya menatap kosong ke depan. Ia duduk di sebuah taman di dalam kawasan perumahan. Taman yang memang disediakan untuk melepas lelah setelah penghuni melakukan aktivitas olah raga pagi. Atau mungkin untuk bersosialisasi pada sore hari sambil menemani anak-anak mereka bermain sepeda. Banyak memang fungsinya. Seperti yang terlihat pada sore hari itu, ketika Retta sedang berada disana. Ia tampak tidak terganggu sedikitpun oleh keramaian anak-anak, atau gerombolan wanita dewasa, entah pemilik atau mungkin pembantu rumah tangga. Ia tetap pada posisinya, dan pikirannya. Ya, ia memang sedang memikirkan seseorang.
Cigar, itulah nama yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikiran Retta. Nama yang sangat tidak asing lagi dalam hidupnya. Tanpa sadar, sebuah senyum menghias di bibir Retta. Gadis itu teringat masa-masa kebersamaan dengan Cigar. Masa sekolah. Retta memang satu sekolah dengan Cigar. Tidak pernah sekelas, tapi sangat akrab. Itu yang membuat banyak teman-teman mereka menjadi iri. Cigar yang mempunyai badan lumayan jangkung untuk ukuran anak SMA, bertampang cool, aktif dalam kegiatan sekolah, sangatlah pantas untuk menjadi incaran dari adik kelas, teman seangkatan, bahkan tak sedikit kakak kelas yang berusaha merebut perhatian Cigar. Dan dari semuanya itu, Cigar tetap menganggap mereka tak lebih dari seorang teman. Hanya pada Retta lah, gadis sederhana tapi penuh keceriaan, Cigar terlihat akrab.

Retta memang terlahir sebagai seorang perempuan yang bisa dibilang mungil, tidak terlalu aktif pada kegiatan sekolah, kecuali hanya sebagai dewan redaksi majalah dinding, yang sangat bertolak belakang dari Cigar si super aktif. Tapi keramahannyalah yang membuat banyak teman sangat senang bergaul dengannya. Dan mungkin karena sifat itulah, yang akhirnya membuat teman-teman mereka ‘rela’ melihat Cigar lebih memilih Retta daripada mereka. Mereka menyebut Retta dan Cigar sebagai ‘Prince n Princess’ atau ‘Couple of the Year’ selama 3 tahun berturut-turut. Melihat perlakuan teman-temannya ini cukup membuat mereka berdua tertawa kegelian.
Padahal, diantara Retta dan Cigar tidak pernah sedikitpun tercetus jika mereka saling mencintai. Yang mereka rasa hanya ketulusan untuk saling menyayangi tanpa ingin memiliki. Dan Retta sadar betul itu, karena jauh dalam hatinya, meski Cigar selalu ada disampingnya, ia terlanjur mencintai sosok lain dalam hatinya. Baginya Cigar tidak lebih dari seorang sahabat, atau keluarga yang selalu ada untuk dirinya.

Akhirnya ketika tiba saatnya untuk berpisah, hanya kepedihan sesaat yang dirasakan Retta. Selebihnya kebahagiaan yang tak terkira karena Retta memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota yang sama dengan laki-laki incarannya. Dan memang, kebetulan sekali Retta diterima di salah satu perguruan tinggi di kota ini.
Sedangkan Cigar, ia lebih memilih untuk tetap tinggal di kota kelahirannya. Ia memilih untuk tidak merantau karena harus menjaga kedua adiknya dan ayahnya. Cigar memang sudah tidak mempunyai seorang Ibu. Ibunya meninggal tidak lama setelah ia melahirkan adik terakhirnya. Ia hanya diasuh oleh ayahnya seorang diri. Untuk alasan itulah, Cigar lebih memilih untuk tetap melanjutkan pendidikannya di kota itu. Tetapi sesungguhnya, Cigar mempunyai alasan lain.. sebuah alasan yang sengaja dipendamnya..
Retta menghela napas, menyadari bahwa lamunannya sudah terlalu jauh. Ia melihat jam di tangannya sejenak, dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Meski Ia terlihat tidak rela melepaskan pikirannya begitu saja, Ia masih terus ingin bermain-main dengan perasaannya. Dengan langkah berat, Ia meninggalkan taman.

                                                                                   -00-

Cigar mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menghisap rokok favoritnya itu dalam-dalam. Ia mencoba merasakan apa yang tersimpan jauh di dalam hatinya. Sosok itu tak akan pernah bisa hilang begitu saja. Meski perih, hati ini tetap menyimpan asa untuknya, gumam Cigar.
Siang itu, selepas makan siang, Cigar tiba-tiba ingin menyendiri, tidak seperti biasanya. Hatinya sedang gundah, bimbang. Dan perasaan inilah yang akhirnya membawa langkah Cigar menuju ke bagian belakang gedung kantornya. Kantor Cigar memang menyediakan lahan untuk karyawan perokok. Tempatnya teduh, banyak pohon, banyak angin. Cocok sekali untuk Cigar yang memang sedang membutuhkan suasana seperti ini.

Retta, nama yang selalu membuat hati Cigar berdebar. Tak pernah sedikitpun Ia bisa melupakan gadis itu. Gadis yang sejak pertama Ia kenal, Ia telah merasa jatuh cinta. Hmm, sudah hampir 12 tahun rasa itu ada, batin Cigar. 3 tahun masa sekolah, 4 tahun kuliah, dan 5 tahun bekerja. Tetap tidak berubah. Meski Retta maupun Cigar masing-masing sudah pernah menjalin hubungan dengan pasangan masing-masing, Ia tetap tidak bisa menghilangkan sosok itu dalam hatinya.
Masih teringat ketika Ia harus berpisah dengan Retta, 9 tahun lalu. Ia sangat merasa tersiksa. Batinnya ingin menangis melepas Retta, tetapi sebagai seorang sahabat, tidak mungkin Ia bersikap demikian, Ia harus tampak tegar di hadapan Retta yang begitu kelihatan bersemangat menyambut hari barunya di kota lain. Cigar hanya bisa memendam, memeluk dan merelakan Retta pergi menggapai impiannya. Cigar tak beda dengan seorang pengecut kala itu. Seorang lelaki yang tidak berani untuk mengungkapkan perasaannya kepada wanita yang dicintainya. Tidak! Bukan tidak berani, bela kata hati Cigar. Tapi aku tau apa yang ada dalam hati Retta. Aku tau apa yang Retta impikan. Itu alasannya. Dan tidak ada hal yang lebih penting bagi Cigar selain melihat Retta bahagia.

Cigar menghisap rokoknya dan buru-buru mematikannya ketika lamunannya disadarkan oleh dering ponsel yang sangat dihapalnya.
Sambil melangkah kembali ke kantornya, Ia menjawab panggilan telepon itu.
“Ya, sayang…”

                                                                            -oo-

Retta terpaku menatap layar notebook nya, dihadapannya terlihat sebuah situs pertemanan. Jujur, Ia merasa sangat sedih sekarang. Ia yang selama ini terlalu cuek dengan hidupnya. Ia yang selama ini terlalu tidak peduli dengan perasaannya, sekarang tersadar oleh suatu kenyataan. Retta mencoba menguatkan batinnya. Ia yang tadinya sangat bersemangat ingin melihat perkembangan Cigar, mendadak menjadi lemas. Separuh hatinya melayang, bahkan Ia sendiri pun tidak sanggup untuk mengejarnya.
Dilihatnya foto Cigar tersenyum bahagia memeluk seorang wanita, yang Ia pastikan itu bukan dirinya. Penasaran, Retta kembali  berusaha membuka foto-foto lainnya yang nampak belum lama di upload oleh pemiliknya. Semakin lama Retta mencari tau, semakin Retta menemukan titik terang, seiring dengan jatuhnya air mata di pipinya. Retta kembali menelan ludah ketika Ia membaca judul photo album itu. “ Inilah yang dinanti”.

Retta mengambil napas panjang, kemudian merebahkan diri pada tempat tidurnya. Ia kembali teringat kebersamaan yang Ia jalani dengan Cigar. Sekian tahun, Ia merasa sudah memiliki Cigar. Perasaan sayang yang tumbuh di hatinya tanpa Retta sadari telah membawanya pada kenyataan. Bahwa selama ini Ia tidak pandai membaca perasaannya. Bahwa Ia terlalu terbuai dengan sosok lain yang akhirnya malah menghancurkan harapannya. Berulang kali Retta mencoba menjalin dengan pria yang dicintainya, berulang kali pula Ia harus merasakan kepedihan. Dan hanya kepada Cigar lah, Ia bisa menumpahkan semua keluh kesahnya, semua tangisnya. Hanya kepada Cigar jugalah, Ia bisa percaya dan merasa nyaman.

Retta kembali terisak, belum lama Ia berusaha memantapkan hatinya dan berharap Cigar lah pria yang dinantinya selama ini. Dan sekarang, Retta tersadarkan akan satu hal. Bahwa itu semua hanya khayalan, hanya mimpi. Meski terkadang hati kecilnya masih belum bisa menerima kenyataan itu, meski terkadang Retta masih menginginkan mimpi itu. Apalagi ketika Retta teringat liburan terakhirnya di kota kelahirannya kemarin. Retta begitu bersemangat, karena Cigar yang menjemput dan menemaninya kemana Ia ingin bernostalgia. Ia bahkan berani menanyakan tentang masa depan Cigar, kapan Cigar akan menikah. Meski mungkin hanya pertanyaan iseng, tapi jawaban Cigar mampu membuat Retta melayang. Waktu itu Cigar menjawab, ‘ menunggu kamu siap’.
Sesungguhnya Retta paham, mungkin Cigar memang sedang becanda, karena Retta pun tau, bahwa sekarang Cigar sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis, sama halnya dengan Ia yang sedang dekat dengan seorang pria. Tapi Retta tidak terlalu ambil pusing dengan status Cigar dan status dirinya saat ini. Yang Retta tau, Cigar selalu berusaha menyediakan waktunya ketika Ia berada di kota kelahirannya ini. Inilah yang membuat Ia yakin, bahwa masih ada kesempatan untuk dirinya dan Cigar menjalin hubungan seperti yang dikatakan teman-temannya dulu, suatu saat nanti.

Lelah dengan kenyataan yang dilihatnya, Retta mencoba untuk bersikap realistis. Ia mengambil kesimpulan, mungkin memang bukan Cigar lah yang ditakdirkan untuk mengisi kekosongan jiwanya saat ini. Mungkin memang gadis yang dipilih Cigar lah yang terbaik buat laki-laki itu. Ia mencoba untuk memejamkan mata, mencoba untuk menghias mimpinya malam itu. Setengah tidak rela, Ia tetap panjatkan doa untuk kebahagiaan Cigar. Dalam tidur, Retta seolah mendengar bunyi dering ponsel yang sudah di setting untuk nama yang dirindukannya kini.
( ? Kin- Saat-saat Bersamamu ? : Cigar calling……. 2 missed calls)

                                                                                 -00-

Cigar meletakkan ponselnya, dan terdiam di depan monitor note book nya. Hmm, panggilan teleponku tidak dijawab olehnya. Sudah 3 jam Ia mencoba untuk berkonsentrasi menyiapkan presentasi yang akan dibawakannya besok pagi. Tepi entah mengapa, pikirannya sulit sekali diajak kompromi. Terlalu banyak beban yang Ia tanggung. Termasuk salah satunya adalah tentang rencana pernikahannya. Ya, Ia memang sudah memutuskan untuk meminang gadis yang sudah 2 tahun ini mendampinginya. Meski sebenarnya, pilihan itu bukanlah hal yang gampang. Terlalu sulit bahkan. Karena ada sosok lain dihatinya. Retta. Impian yang entah kenapa Cigar sendiri merasa tidak mampu untuk menggapainya. Impian yang dirasanya sangat berharga untuk dilepaskan. Tapi harus. Karena Ia tidak ingin di cap sebagai lelaki yang pengecut untuk kedua kalinya. Kali ini dengan rasa tanggung jawab, Ia harus berani mengambil keputusan yang Ia rasa cukup benar, paling tidak sampai saat ini.

Retta, Retta.. Mengapa kenangan tentangmu tidak pernah bisa hilang? Bahkan sampai kemarin kita ketemu saat kepulanganmu di kota ini, aku masih sempat berharap aku mampu mengungkapkan rasa yang ada di hati ini, batin Cigar pilu. Tak ada satupun yang bisa aku lupakan tentang kamu. Wangi rambutmu, tubuhmu, keringatmu, masih ada dalam ingatanku. Bahkan kebiasaan-kebiasaan burukmu sekalipun, aku tak pernah menganggap itu sebagai sebuah aib. Aku terlalu terkesan akan pribadimu Retta. Pribadi yang selalu kuimpikan untuk dapat bersamaku suatu saat nanti.
Bahkan aku tidak pernah bisa marah kepadamu, saat tengah malam kamu telepon aku hanya untuk menemanimu menangis, hanya untuk mendengarkan kisah laki-laki yang telah menyakitimu. Semua aku terima dengan tulus. Walau sejujurnya, aku merasa cemburu, mengapa kau tidak membuka pintu hatimu untukku; marah, mengapa ada laki-laki yang berani-beraninya menyakiti gadisku; kesal, mengapa aku tidak bisa berada di sampingmu saat itu, hanya untuk sekedar bisa memelukmu. Demi perasaanku dan perasaanmu, aku rela akan semua itu Retta.

Entah lelah dengan semua kesesakan yang Ia rasakan, Cigar memilih untuk menuliskan perasaannya dalam sebuah email, yang ditujukan kepada Retta.

“ Sahabatku Retta,
Sudah lama sebenarnya aku ingin mengungkapkan ini semua. Tapi mungkin karena sikap pengecutku lah yang akhirnya mengundurkan niatku.
Sejak pertama melihat kamu, kenal, dan akhirnya dekat sama kamu, entah kenapa ada satu aliran yang membuatku tidak bisa jauh dari kamu. Selalu ingin melindungi kamu. Dan perasaan tidak rela jika tidak melihat senyummu setiap hari.
Begitu juga ketika kamu selalu memberiku kabar tentang perasaanmu kepada pria-pria itu. Aku tidak pernah bisa marah, meski aku cemburu. Aku justru senang, kamu bisa percayakan itu semua kepadaku Retta.
Retta, saat kamu katakan kamu akan berlibur disini kemarin, aku sungguh sangat menantikan itu. Hatiku terlalu yakin, kalau itulah saat yang sangat aku tunggu. Meski kamu tau, aku sudah punya seseorang disini, tapi demi perasaanku, aku rela jika harus meninggalkan dia. Egois sekali ya aku?
Aku tidak tau lagi Retta, kapan kesempatan akan datang lagi padaku, dan hatiku yakin, inilah kesempatan terakhir buatku. Makanya, aku sangat-sangat tidak sabar untuk melihatmu lagi. Aku kangen banget sama kamu Retta.
Disini sekarang hujan deres dan banyak petir. Aku jadi ingat kamu, kalau kamu ada, pasti kamu langsung ketakutan dan berusaha sembunyi sambil menutup kuping. Tapi tenang Retta, aku pasti akan menenangkan dan menjagamu. Karena aku tak pernah bisa melihatmu khawatir dan ketakutan. Aku pasti melindungimu.
Retta, begitu banyak kenangan tentang kamu yang tidak bisa aku hapus dari benakku. Itulah yang akhirnya mendorongku untuk menanyakan perasaanmu padaku. Ternyata malah aku yang mendapat kejutan. Kamu bercerita bahwa kamu sedang dekat dengan seorang lelaki. Meski kamu juga tidak yakin dia akan jadi pasanganmu, tapi aku bisa merasakan kebahagiaan pada suaramu. Untungnya, aku masih punya kesempatan lain, waktu kamu bertanya kapan aku mau menikah. Ternyata jawabanku hanya kamu anggap sebagai sebuah candaan. Padahal, demi Tuhan, aku serius.
Sakit sebenarnya mendengar itu semua, tapi biar bagaimanapun, aku tetap menghargai kamu sebagai seorang sahabatku, seperti dulu, seperti pertama kali bertemu. Aku tidak ingin perasaanku ini akan merusak hubungan kita yang pernah terjalin.
Retta, sampai akhirnya satu hari di bulan lalu, tanpa menghubungi kamu, aku memutuskan untuk melanjutkan hubunganku dengan dia ke jenjang yang lebih serius. Bukan atas dasar cinta, tapi tanggung jawab. Aku percaya Retta, inilah jalan yang terbaik yang harus aku tempuh. Biarlah cinta untukmu yang tumbuh dihatiku ini kusimpan sampai aku bisa mengungkapkannya padamu nanti.
Retta, maafkan aku, aku mencintaimu. “


Cigar menghela nafas panjang, mengambil sebatang rokok, dan mulai menghisap rokok itu. Dilihatnya sekali lagi email yang sudah ditulisnya, dibacanya, dan kemudian tangannya menekan tombol ‘save’. Belum saatnya, pikir Cigar.
Sekali lagi, betapa pengecutnya aku.

                                                                                       -00-

Langkah Retta terhenti sejenak ketika Ia akan masuk ke kamarnya. Pembantu rumahnya memanggilnya dan memberinya sebuah surat untuknya. Dibacanya sekilas, dan setelah mengucapkan terima kasih, Ia masuk ke kamarnya. Hati Retta sangat berdebar-debar, merasa ada sesuatu yang akan menghantam hatinya. Sangat dikenalinya tulisan yang tertera di depan amplop. Tak sabar Ia segera merobek amplop itu, dan membaca isinya.

-    Undangan Pernikahan –

Deg, jantung Retta serasa berhenti, ketika membaca nama yang tertera pada undangan pernikahan yang diterimanya. Nama yang sangat dikenalnya. Nama yang akhir-akhir ini menghiasi hatinya. Retta meneruskan membaca setiap kata yang tercetak disana. Air mata mengalir perlahan, seakan bisa menggambarkan suasana hatinya saat itu. Dan paling menyesakkan dadanya ketika Ia harus membaca untaian kata yang diambil dari lagu yang Ia sukai. Ia dan Cigar sukai tepatnya. Lagu yang mempertemukan mereka.

Retta terduduk lemas di pinggir tempat tidurnya. Semua berakhir sudah. Pengharapannya tidak akan pernah menjadi kenyataan. Cigar sudah menentukan sikap. Dan Retta sadar, bahwa Ia harus hargai semua itu. Karena Ia pun tidak bisa menuntut Cigar untuk mencintainya, untuk memilihnya. Ia sadar, bahwa Ia terlalu keras hati untuk bisa menunjukkan bahwa Ia mencintai Cigar. Ia terlalu mengesampingkan perasaannya, dan tidak pernah memberi kesempatan pada hatinya untuk bicara jujur.
Retta memejamkan mata, berdoa dengan penuh ketulusan untuk kebahagiaan Cigar. Hanya ini yang bisa Retta lakukan. Ia tak akan pernah mau menyesal dengan apa yang terjadi, karena Ia tau, bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuknya dan untuk Cigar.
Dalam hati yang terdalam Retta berbisik, ‘maaf Cigar, aku ternyata mencintaimu..’




Dedicated to my very best friend.. just wanna say, I love you, happily ever after.

1 comments on ".. Cigar - Retta .."

Feby Rahutama on July 11, 2016 at 6:03 AM said...

Hiks hiks baru bacaaaaa...

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez