Wednesday, November 4, 2009

Adikku, pahlawanku...



Aku dilahirkan di sebuah dusun di pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dengan punggung mereka yang selalu menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi beliau mengatakan,
“Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bamboo itu tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, adiku mencengkeram tangannya dan berkata,
“Ayah, aku yang melakukannya!”
Akhirnya, tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, beliau duduk diatas ranjang batu bata kami dan sambil berkata dengan marah,
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis mareung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
“Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin terjadi. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat Kabupaten.
Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,
“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah merasa cukup membaca banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau punya jiwa yang begitu keparat lemahnya? Saya akan tetap menyekolahkan kalian berdua sampai selesai, bahkan jika perlu saya harus mengemis di jalanan pun saya akan lakukan!”
Begitu selesai bicara, Ayah kemudian pergi dan mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
“Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebenarnya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas, tapi siapa sangka keesokkan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, tulisnya, “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun, aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”
Dalam hati aku berkata, mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Siapa ya dia? Kemudian aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
“Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum, “Lihatlah Kak, bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.
Langsung kuraih adikku, kusapu semua debu-debu dari badan adikku, dan terbata-bata aku berkata,
“Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku, apa pun juga! Kamu adalah adikku, bagaimanapun penampilanmu..”
Kemudian dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
“Aku melihat semua gadis kota memakainya, jadi aku pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis tanpa bisa berhenti.
Tahun itu, ia berusia 20, aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah. Kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih dimana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita, hanya untuk menyambut pacarku datang!”
Sambil tersenyum, ibuku berkata,
“Itu adalah perbuatan adikmu. Dia pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat bekas luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu…!”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalutnya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak,tidak sakit. Kamu tahu, katika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itupun tidak bisa menghentikanku untuk bekerja dan…”
Belum selesai Ia berkata, aku segera membalikkan tubuhku, memunggunginya, tak sanggup lagi untuk memandang wajahnya. Air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23, aku berusia 26. Setelah aku menikah, aku kemudian tinggal di kota. Sering aku dan suamiku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, jika meninggalkan dusun, mereka tidak tahu harus mengerjakan apa. Adikku mendukung alasan orang tuaku, dan berkata,
“Kak, jagalah mertuamu saja. Biarlah aku yang akan menjaga ibu dan ayah disini.”
Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, ketika adikku berada di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ia mendapat sengatan listrik, sehingga harus masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
“Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya,
“Pikirkan kakak ipar. Ia baru saja jadi direktur, dan lihatlah, aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menerima pekerjaan sebagai manajer, apa yang akan orang katakan??”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian sambil menahan tangis aku berkata,
“Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku! Maafkanlah aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya,
“Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”
Tanpa bahkan perpikir ia menjawab , “Kakakku”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
“Dulu, ketika aku pergi ke sekolah dasar yang berada pada dusun yang berbeda dengan yang kami tinggali, aku dan kakakku harus berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang kerumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Tanpa pikir panjang, kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Dan Ia memilih untuk hanya memakai satu sarung tangan saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan tak akan pernah menyakitinya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Dengan terbata-bata sambil menahan tangis haru, aku berkata,
“Dalam hidupku, aku selalu ingin mengucapkan terima kasih pada adikku.”
Pada kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan bayak orang, tanpa terasa air mata membanjiri wajahku . Sambil memeluk adikku, aku berkata, “Maafkan aku selama ini, aku sangat mencintaimu.”


-Anonymous-

ps: Sepertinya ini cerita terjemahan, tanpa mengurangi isi cerita, ada penambahan disana sini..

0 comments on "Adikku, pahlawanku..."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez