Sunday, July 5, 2009

semampuku...


Pertemuanku denganmu memang tidak bisa dibilang kebetulan.. aku dan kamu sudah tinggal dalam satu atap kurang lebih 1 tahun.. ya, di ‘Rumah Teras’ inilah aku ketemu dengan kamu.. kenal tepatnya..


Rumah Teras, nama sebuah rumah kos-kosan di bilangan Jakarta Pusat. Tempatnya enak, masih banyak pohon dan mempunyai halaman yang cukup luas.. Itulah mengapa oleh pemiliknya, Pak Djoyodiningrat, dinamakan Rumah Teras. Katanya biar kedengaran seperti dikampung, padahal ini di Jakarta, Jakarta Pusat tepatnya.
Pak Djoyo, biasa dipanggil seperti itu, memang tidak tinggal di Rumah Teras, beliau tinggal di rumahnya yang lain, di bilangan Ciganjur, Jakarta Selatan. Perbatasan antara Jakarta dan Depok. Yang katanya malah lebih luas, dan lebih asri. Pak Djoyo berumur sekitar 70 tahun, pensiunan salah satu BUMN, beristri satu, dan mempunyai 2 orang anak. Meski sudah berumur lebih dari setengah abad, tetapi fisik Pak Djoyo terlihat lebih muda 10 tahun. Masih sehat, masih kuat. Beliau tinggal berdua dengan istrinya, karena anaknya memilih untuk tinggal di rumah mereka masing-masing bersama dengan keluarganya. Pak Djoyo dibantu dengan 1 orang pembantu rumah tangga, itupun hanya untuk membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, seperti mencuci, menyetrika, memasak, dll. Tapi untuk urusan membersihkan kebun dan pekarangannya yang luas itu, Pak Djoyo tidak membutuhkan bantuan siapapun. Semua masih dilakukannya sendiri. Modalnya hanya kemauan dan cinta, katanya. Ya, beliau memang sangat mencintai berbagai macam tanaman.

Pengurusan Rumah Teras beliau percayakan kepada keponakannya dari kampung, yang memang belum mendapat pekerjaan. Samsul namanya. Dan para penghuni Rumah Teras biasa memanggil dengan sebutan Mas Bahri. Supaya ingat dengan sinetron Siti Nurbaya, kata mereka.
Samsul atau Mas Bahri ini lulusan STM di Bantul, salah satu wilayah Daerah Istimewa Jogjakarta. Meski dia mengambil jurusan Mesin, tapi aku akui, naluri bisnis dan pengusahanya sangat bagus. Dia bisa mengelola Rumah Teras ini dengan sangat baik. Dari segi kalkulitasnya, segi estetika, segi kenyamanan dan keamanan, semua menjadi perhatiannya. Maka tidak heran kalo penghuni Rumah Teras ini sangat betah dan jarang sekali ingin pindah ke tempat lain. Mungkin satu hal yang bisa membuat penghuni pindah adalah ketika mereka memutuskan untuk menikah. Ya, hampir semua penghuni Rumah Teras tidak pernah ada yang mengajukan complain.
Inilah mengapa Pak Djoyo sangat mempercayai keponakannya itu. Mungkin nalurinyalah yang menuntun beliau untuk memanggil Samsul datang ke Jakarta, dan mengatakan kalau Samsul akan sukses. Dan ternyata feeling Pak Djoyo sungguh tepat. Hanya sesekali Pak Djoyo datang ke Rumah Teras, biasanya untuk mengganti atau menambah tanaman yang sudah ada. Kalo sudah itu tujuannya, Pak Djoyo bisa bermalam di Rumah Teras selama 2-3 hari. Dan kalo sudah begitu, ini adalah saat-saat yang ditunggu oleh penghuni Rumah Teras. Karena Pak Djoyo orang yang sangat ramah, humoris, dan kebapakan. Selalu kami disediakan cemilan tiap malam, untuk menemani kami berkumpul di halaman hanya untuk nonton bola, kalo ada, atau main catur, atau mungkin main kartu, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saling curhat . Sungguh sangat mengasyikan. Kami bisa bercerita apa saja tentang masalah kami, begitupun juga Pak Djoyo bisa langsung jadi konsultan pribadi kami. Kami serasa menjadi satu keluarga yang utuh, meski kami berada jauh dari orang tua kami masing-masing dan berbeda suku, kami merasa saling memiliki. Ya, keluarga Djoyodiningrat, demikianlah kami menyebutnya.

Dan karena ada kegiatan yang seperti inilah aku jadi kenal sama kamu. Kala itu kamu yang masih jadi penghuni baru di Rumah Teras ini masih malu-malu untuk gabung dalam komunitas malam ini. Kamu hanya bisa tersenyum kalau kami melontarkan lelucon-lelucon konyol. Kamu hanya bisa mengangguk tanda setuju kalau kami meminta pendapat akan membeli makanan apa untuk makan malam. Yah, wajarlah, namanya juga anak baru. Mungkin kamu masih canggung dengan kebiasaan-kebiasaan kami ini.
Tapi entah kenapa, hanya dengan kamu, aku juga merasa canggung. Aku tidak bisa seperti biasa. Aku tidak bisa bermanja-manjaan seperti dengan penghuni lain, aku tidak bisa tertawa kencang ketika penghuni lain coba untuk menggodamu, aku tidak bisa ngobrol tentang apa saja denganmu. Pokoknya apa yang aku biasa lakukan dengan penghuni lain, tidak bisa aku lakukan sama kamu.
Meski sebenarnya ingin sekali bersikap biasa, tapi entah kenapa, ada rasa gengsi, atau malu, atau sungkan, atau apalah namanya sehingga membuat aku jadi jauh darimu..
Sebenarnya tak jarang kamu menyapaku, hanya untuk sekedar mengucapkan selamat pagi atau menyapa ketika aku pulang kerja. Tapi ya sebatas itu saja. Entah aku yang terlalu cuek atau justru sangat pemalu, aku sendiri tidak paham akan hal ini.

Dan pada satu malam, ketika aku mendengar kamu sedang bermain gitar sambil menyanyikan lagu “Serpihan Hati” nya Utopia.. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat sedih yang teramat dalam, karena baru saja aku membaca email yang kukirim untuk seseorang disana. Dan judul email itupun adalah Serpihan Hati. Rasa-rasanya aku ingin memeluk kamu saat itu, hanya untuk meringankan beban yang kurasakan. Tapi aku tidak berani melakukan itu, mengingat track record antara kamu dan aku yang tidak pernah ngobrol sebelumnya.
Aku hanya bisa menikmati samar-samar suara gitar dan senandungmu yang kemudian setelah itu kamu menyanyikan beberapa lagu yang sedikit banyak mempengaruhi perasaanku malam itu. Dan ketika petikan gitarmu sampai pada lagu “Jika Kau Mengerti” dari Power Slave, entah kenapa ada kekuatan yang membawa aku untuk datang ke teras dan duduk disampingmu. Kamu hanya tersenyum dan terus menyanyikan lagu itu sampai selesai sambil sesekali melihat ke arahku seakan ingin mengajak aku untuk bernyanyi.

Ya, itulah saat pertama kali aku bisa ngobrol denganmu, tanpa ada satupun penghuni Rumah Teras yang tau. Entah kenapa juga, akhirnya aku dan kamu jadi akrab. Kamu banyak sekali bercerita tentang dirimu. Tentang keluargamu, tentang pekerjaanmu, tentang teman-temanmu.. Dan tak jarangpun aku dan kamu tertawa lepas seolah aku tidak ingat jika baru saja aku hampir menangis mendengar lagu yang kamu nyanyikan.
Aku pun bisa mengerti jika itu semua hanya caramu yang ingin menghiburku. Kamu tau kalau aku membutuhkan teman untuk bicara, teman untuk tertawa, teman untuk sekedar melepaskan gundah yang ada di dalam dada. Dan ketika akupun akhirnya tidak bercerita sedikitpun tentang keadaanku, kamu tidak pernah sekalipun memaksakan aku. Kamu seperti sangat memahami apa yang aku rasakan. Kamu seolah tahu kalau aku adalah seorang introvert, aku tidak mudah untuk dapat bercerita tentang perasaanku, terlebih kepada orang yang aku baru kenal.
Yang jelas, malam itu, aku merasa senang karena sudah terangkat sedikit beban yang ada dihatiku ini. Kamu ditakdirkan untuk menjadi ‘Malaikat Penjagaku’. Apa yang sudah kamu perbuat, sungguh-sungguh membekas di jiwaku.

Pertemuan itu akhirnya membawa dampak positif bagi aku dan kamu. Kita jadi sering ngobrol kalau ketemu, komunikasi menjadi lancar, kamu sudah tidak canggung lagi berada di lokasi Rumah Teras. Dan akupun demikian, aku menjadi semakin ingin secepatnya berada di Rumah Teras setiap pulang kerja. Betapa aku tak ingin melewatkan kebersamaan dengan kamu. Dan sedikit-sedikit aku pun sudah mulai berani untuk membuka diri, bercerita tentang apa yang aku alami. Aku tahu, kamu pun senang melihat perubahan ini. Kamu jadi lebih sering mengkhawatirkan aku, kamu jadi lebih sering memperhatikan aku, kamu juga lebih sering melindungi aku.
Aku jadi merasa menjadi lebih berarti lagi semenjak kenal dekat dengan kamu. Yang semula aku terlalu merasa desperate dengan kejadian yang sedang aku alami, semenjak itu aku jadi punya kekuatan yang lebih. Kamu mampu membangkitkan semangat aku lagi. Aku sungguh menikmati kehidupanku sekarang..

Ya, jujur, sejak saat itu, aku terlalu sering memikirkanmu. Aku terlanjur memiliki rasa yang lama tidak pernah aku rasakan lagi. Aku terlanjur menginginkan kamu untuk selalu dekat denganku. Aku terlanjur juga berharap kamu selalu ada disampingku.
Meski aku akui, perbedaan diantara kita sangat jauh. Tembok diantara kita sungguh sangat tinggi dan tebal, yang mungkin mengharuskan aku bekerja sangat keras untuk menerjangnya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena rasa inipun ada bukan karena direncanakan olehku.
Bahkan, tanpa aku sadari, kamu yang telah mengajariku banyak hal. Kamu yang tadinya kuanggap ‘orang biasa’, sanggup menampar kesombonganku untuk dapat berpikir jauh kedepan. Kamu dengan kesederhanaanmu, kamu dengan ke-apa adanya-anmu, kamu dengan kedewasaanmu, kamu dengan segala yang membuatku takjub. Sungguh aku sudah tersihir dengan pesonamu.
Kamu mampu membuatku untuk selalu tertawa, kamu mampu untuk membuatku tidak pernah merasa sedih, kamu mampu membawaku ke dalam ‘duniamu’. Intinya, sejak kehadiranmu, hidupku cenderung berubah. Ke arah yang lebih baik.

Dan memang, takdir tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tidak selamanya sejalan dengan apa yang kita harapkan. Sampai akhirnya aku harus merasa kehilangan kamu. Aku harus menerima berita sedih itu tepat di hari ulang tahunku. Malam itu aku ingin membuat satu keputusan penting dalam hidupku. Malam itu aku ingin kamu tau apa yang aku rasakan. Dan malam itupun aku ingin untuk sekalinya, sejak aku dekat dengan kamu, merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Kamu ajak aku untuk makan malam di luar. Kamu bilang, ingin sekali saja membawaku pergi ke suatu tempat favoritmu di Jakarta ini. Kota yang sebenarnya tidak kamu sukai. Dan hanya tempat itulah yang kamu anggap tempat paling nyaman yang kamu pernah tau. Tempat dimana selalu tumbuh inspirasi dalam kelangsungan hidupmu. Sok puitis, kataku malam itu.
Ya, setelah selesai makan malam, aku dan kamu menghabiskan waktu berjalan-jalan berdua di tepi pantai itu. Entah kenapa, hatiku sangat berdebar-debar, menanti waktu yang tepat untuk mengatakan perasaanku ini. Setelah lelah berjalan kaki, kamu ajak aku untuk duduk menikmati udara malam yang penuh kesejukan itu.
Kamu ucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ kepadaku, dan tidak lupa kamu nyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ nya Dewa 19, meski tidak ada petikan gitarmu seperti biasanya. Aku sungguh merasa sangat bahagia. Belum pernah seumur hidupku, mendapatkan perayaan ulang tahun seperti ini. Biasanya hanya aku lewatkan seorang diri untuk memberi kesempatan diriku merenung, untuk menyadari perbuatan mengecewakan apa yang pernah aku perbuat. Tapi sekarang, dalam kesederhanaan, aku merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Sekali lagi kamu ajarkan aku untuk mewarnai kesederhanaan dalam hidup.
Setelah itu, aku dan kamu larut dalam suasana canda, kita terkadang saling cubit, saling ledek-ledekan, kemudian bernyanyi bersama. Tak ingin rasanya mengakhiri malam itu.

Ketika waktu sudah agak terlalu larut, kamu memberikan aku kejutan yang sungguh sangat membuat tenggorokanku tercekat. Kamu berikan aku sebuah jam tangan yang memang aku inginkan. Dan aku juga kaget, kenapa kamu bisa pilih bentuk yang sangat sesuai dengan keinginanku, padahal aku tidak pernah bercerita tentang hal ini kepadamu. Seketika hatiku melayang tinggi melihat usahamu yang sungguh sangat tidak kuduga. Kamu katakan padaku, bukan bentuk atau harga atau merk yang paling penting, tapi kamu ingin memakai jam ini supaya aku selalu teringat waktu yang sudah, sedang, dan akan aku dan kamu lalui. Kamu hanya ingin aku ingat tentang waktu, dan kamu pun berharap jika jam tangan ini yang akan membantumu mengingatkanku akan hal itu.
Disini, sekali lagi aku belajar tentang kesederhanaan. Dalam arti yang sangat sebenarnya. Tak pernah aku berpikir tentang filosofi itu. Aku hanya berpikir kalo sebuah jam tangan akan indah bila bisa matching dengan baju yang aku pakai, atau akan terlihat keren dengan warna dan bentuknya yang indah. Tapi kamu bisa membuat pikiran itu berubah jika dilihat dari segi kegunaannya. Mungkin aku sempat berpikir kamu terlalu berfilosofi malam itu supaya terdengar romantis.

Ternyata aku salah besar.

Ketika akhirnya kamu juga katakan, kalau kamu tidak akan lama lagi berada di Jakarta ini. Kamu katakan kalau mungkin kamu tidak bisa lagi selalu berada di dekatku. Kamu juga katakan kalau kamu harus mengambil keputusan yang sangat berat selama beberapa minggu ini. Kalau kamu harus terpaksa mengambil beasiswa dari perusahaanmu yang mengharuskan kamu untuk tinggal di Swedia selama 2 tahun.
Kamu katakan itu dengan suara yang bergetar menahan perih. Kamu katakan kalau sebenarnya kamu ingin keputusan ini tidak dibuat semendadak ini. Kamu katakan kalau kamu sudah berusaha minta waktu lebih lama lagi di Indonesia sebelum siap pergi ke Swedia. Kamu juga katakan kalau kamu tidak sanggup mengabarkan berita ini kepadaku. Kamu tidak ingin aku merasa sedih. Kamu tidak ingin melihat aku menangis. Kamu tidak ingin aku merasa tidak punya siapa-siapa lagi seperti dulu.
Dan terakhir, sebelum semuanya terlambat, kamu juga katakan alasan itu semua adalah karena kamu tidak ingin berpisah denganku.

Aku terdiam, tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa menunduk, tidak sanggup melihat mata kamu. Aku tidak ingin kamu tau, betapa sakitnya hatiku mendengar itu semua. Aku tidak ingin kamu tau, air mata ini menetes tanpa bisa kucegah. Aku juga tidak ingin kamu tau, betapa hancur perasaanku mendengar itu semua.
Semua yang telah aku rencanakan, berakhir dengan keadaan seperti ini.
Aku hanya bisa mengatupkan bibir ketika kamu peluk aku malam itu. Seolah ingin menunjukkan betapa kamu akan sangat kehilanganku seperti yang aku dengar ketika dalam dekapmu. Sungguh, aku tidak mempercayai keadaan ini, aku masih berharap jika semua ini hanya sekedar mimpi. Tanpa kamu sadari aku gigit bibirku, perih. Aku cubit tanganku, sakit. Berarti aku tidak bermimpi, berarti inilah kenyataannya.

Perlahan, aku tarik nafas panjang, aku berusaha untuk kuat, untuk tegar, untuk bisa menerima takdir. Karena aku percaya, ini sudah menjadi suratan takdirku. Aku tidak akan bersikap egois, aku tidak boleh mementingkan perasaanku, aku tidak boleh memaksakan kehendakku. Karena, aku mencintai kamu.

Untuk itulah, aku harus mendukung apa yang terbaik bagi kamu, aku harus merelakan sesuatu yang memang belum saatnya jadi milikku, aku harus menjadi bagian dari perjalanan hidupmu. Karena, aku mencintai kamu.

Perlahan, aku lepaskan pelukanmu, aku tatap mata kamu. Aku usap air matamu. Aku kecup keningmu. Aku berikan senyumku. Dan aku katakan, aku mencintaimu, karena itu aku akan melepaskanmu. Aku mencintaimu, karena itu aku akan selalu mendukungmu. Aku mencintaimu, karena itu aku akan menjadi orang pertama yang mengatakan, pergilah ke Swedia, karena disana masa depanmu berada.
Entah karena kaget dan tidak menyangka akan jawabanku, kamu langsung memelukku dan mengatakan kalau kamu juga mencintaiku, sejak pertama melihatku di Rumah Teras. Dan akan terus mencintaiku semampumu.

-00-

Sudah setahun waktu berlalu, kamu masih tetap seperti kamu yang aku kenal dulu. Kamu tidak pernah berubah meski jarak yang sangat jauh memisahkan aku darimu. Kamu masih tetap dengan kesederhanaanmu. Bahkan kamu tidak jarang menelponku hanya agar aku mendengar suara dan petikan lagumu dalam lagu ‘Serpihan Hati’. Karena ternyata kamu tau, kalau lagu itulah yang membawaku kepadamu.
Aku tidak ingin bermimpi terlalu tinggi, aku hanya ingat dengan apa yang kamu pernah katakan ketika mengantarmu di airport. Kalau aku hanya ingin menjalani semuanya dengan sedehana, dengan apa adanya.
Dan aku hanya ingin mencintaimu semampuku.

0 comments on "semampuku..."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez