Friday, July 24, 2009

andai saja....



Gara-gara baca salah satu notes dari teman saya yang membicarakan tentang jodoh, Tri Indira, thanks notes nya, saya jadi ingat dengan cerita teman saya yang lain. Dia pernah curhat kepada saya apa yang dia alami.

-- 00 --

Hmm.. hidup memang sungguh aneh ya, setidaknya itu yang saya alami. Saya mempunyai kekasih, sudah sekitar empat tahunan menjalani hubungan ini.
Teman saya mulai membuka percakapan ketika kami bertemu di sebuah hotel di pulau Bali. Hal yang disengaja, hanya untuk menceritakan apa yang dia alami. Teman saya ini memang meminta saya untuk meluangkan waktu mendengarkan dia bercerita, sampai harus open room seperti ini. Jauh dari tempat kami bekerja. Kami memang jarang bertemu, terpisah karena pekerjaan yang berbeda, tapi selalu keep contact, jadi apa yang dia alami, saya selalu tau, terkecuali soal cinta, teman saya ini paling bisa menyembunyikannya dari saya. Kalau soal hal lain, jangan ditanya, malah kadang-kadang saya dan dia seakan-akan punya chemistry yang sangat kuat. Aneh memang. Tapi itulah persahabatan.

Dia sangat mengerti saya. Dari awal saya kenal dia sebenarnya tidak ada pikiran untuk berlanjut ke tahap yang serius, karena latar belakang saya dan dia yang berbeda. Dan bukan juga karena saya hanya ingin main-main. Tapi lebih karena alasan perbedaan. Tidak perlu saya jabarkan perbedaan seperti apa disini, kurang etis sepertinya.
Saya dan dia selalu mencoba untuk terus berkomunikasi. Meski tidak bertemu setiap hari, tapi kami mencoba untuk tetap saling memberi kabar. Awalnya saya memang tidak terlalu peduli dengan ‘keberadaan’ dia. Saya masih dibelenggu oleh bayang-bayang masa lalu. Karena saya bukan tipe wanita yang cepat jatuh cinta. Apalagi sebelum ketemu dengan dia, saya masih merasakan cinta yang teramat dalam dengan masa lalu saya.
Meski saya bersikap seperti itu, dia tetap tidak berubah. Sejak pertama bertemu dan bilang ‘suka’ dengan saya, sikapnya masih sama. Malah cenderung semakin menunjukkan rasa yang dia punya. Apa yang dia alami selalu diceritakan kepada saya, bahkan masa lalunya pun tanpa sungkan dia beberkan. Bukan bermaksud untuk membuka aib sendiri, tapi karena dia percaya sama saya. Percaya. Kata yang sebenarnya cukup biasa terdengar di kuping saya. Tapi entah kenapa saya cukup tersentak kali ini. Jika dia saja bisa percaya dengan saya, kenapa saya cukup sulit untuk membuka diri dan hati saya untuk dia?

Teman saya berdiri dan mulai membuka 1 botol vodka dan mencampurnya sedikit dengan coke. Berarti sudah parah ini ceritanya, batin saya dalam hati, mengingat kebiasaan lama teman saya ini. Dia kemudian memberikan satu gelas kepada saya, kemudian menyalakan cigarettes kesayangannya. Mengajak saya untuk toast, entah untuk tujuan apa. Sambil duduk di sofa kamar hotel berbintang 4 ini, teman saya mulai melanjutkan ceritanya.

Sampai suatu saat, ada acara di keluarganya dia. Dan di kesempatan itu saya diharapkan untuk bisa hadir untuk diperkenalkan kepada seluruh keluarga besarnya. Mau tidak mau saya ikut, hanya untuk menghargai ajakan dan menghormati acara keluarganya itu. Padahal acara seperti ini sungguh tidak bisa masuk dalam diri saya. Jangankan ikut acara keluarga orang lain, acara keluarga sendiri saja saya hanya kadang-kadang hadir. Tapi entah kenapa, saya kok akhirnya mengikuti juga acara tersebut. Itung-itung saya bisa mengukur kadar keseriusan dia, batin saya waktu itu. Dan ternyata benar, saya diperkenalkan sebagai calon istri dia. Calon istri. Kaget juga waktu itu. Status yang jauh dari perkiraan saya, status yang terasa sangat berat artinya bagi saya Bagaimana bisa naik pangkat jadi calon istri, jika pacaran dengannya saja saya masih sempat-sempatnya memikirkan masa lalu saya. Saya jahat sekali mungkin waktu itu, sempat berpikir demikian, tapi memang itulah yang saya rasakan. Dan sambutan keluarganya sungguh sangat diluar dugaan. Tanpa memandang perbedaan yang ada diantara kami, mereka menerima saya dengan tangan terbuka. Tidak satupun diantara mereka yang menghalangi niat dia untuk menjalani hubungan yang serius dengan saya.

Teman saya meneguk vodka nya, sambil menyalakan cigarettes satu batang lagi. Kali ini dia berpindah posisi menghadap balkon sambil membuka jendela, memandang keluar hotel ini. Saya sengaja tidak berkomentar sedikitpun, membiarkan dia melanjutkan prolog nya. Membelakangi saya, dia mulai bersuara lagi.

Sejak pertemuan itu, dia semakin sering mengajak saya ke dalam komunitasnya, berusaha mengenalkan saya pada sahabat-sahabatnya, melibatkan saya dalam kegiatan bersama teman-temannya. Sesering saya juga menolak ajakan dia, entah kenapa saya tidak merasa enjoy bergabung dengan komunitasnya itu. Perasaan saya masih terbelenggu, belum sepenuhnya bisa menerima jika nanti akhirnya saya harus bisa dan siap untuk menjalani hal ini. Dibanding dengan masa lalu saya, dimana saya sering bertengkar hanya karena saya tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sehari-harinya. Tapi kenapa sekarang justru saya malah berusaha menghindar. Saya menyadari apa yang terjadi dalam batin saya ini. Perang batin tepatnya. Tapi saya masih berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Saya mulai berprinsip let it flow. Kerjakan apa yang hati saya mau kerjakan.
Dia juga mulai berusaha untuk selalu menjemput saya pulang kerja, meskipun saya selalu bilang jangan dipaksakan. Begini-begini juga saya masih memikirkan kesehatan dia. Tapi dia dengan tersenyum selalu mengatakan kalau dia hanya ingin memastikan saya sampai rumah dengan selamat. Hmm, romantisme atau possessive? Yah, terserahlah, yang penting saya bisa sampai rumah dengan cepat dan nyaman. Begitu pikir saya.

Teman saya kemudian berpindah lagi ke tempat tidur, sambil menambah campuran vodka dan coke, duduk di tengah tempat tidur, bersandarkan bantal. kemudian menghela nafas panjang, dan mulai bercerita lagi.

Semakin lama saya menjalani hubungan ini, semakin tersadar jika saya terlalu jahat dalam bersikap. Sedikit demi sedikit saya mulai berusaha untuk menumbuhkan perasaan yang sama terhadap dia. Saya mulai berusaha untuk bersikap peduli, berusaha untuk membalas apa yang dia pernah perbuat terhadap saya. Apalagi jika mengingat keluarganya yang sangat baik terhadap saya, maka perasaan bersalah saya mulai tumbuh. Dan, dengan hebatnya dia tidak pernah sedikitpun berubah sikap terhadap saya. Berkali-kali dia tekankan kalau apa yang dia lakukan adalah karena perasaan cintanya kepada saya dan dia akan buktikan kalau apa yang dia pernah ucapkan bukan sekedar omong kosong. Untuk menebus itu semua, saya akhirnya memberanikan diri untuk memperkenalkan dia kepada keluarga saya. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya banyak reaksi dari mereka. Ada yang menanggapi positif, tapi ada juga yang agak kurang setuju. Apalagi kalau bukan karena alasan perbedaan. Tapi dengan sabar dan rendah hati dia mengakui sudah siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi. Melihat keteguhan hati dia seperti itu, bahkan di depan keluarga saya sendiri, hati saya mulai luluh. Perlahan saya mulai merasakan kasih yang sesungguhnya. Yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ini saya rasakan setelah hampir dua tahun lebih menjalani hubungan dengan dia. Saya mulai merasakan rasa cemburu meski hanya bisa saya pendam dalam hati. Terlalu gengsi saya untuk mengungkapkan perasaan itu.
Hari-hari selanjutnya kemudian, saya mulai berusaha untuk menyayangi dia seperti dia menyayangi saya. Saya berusaha untuk dapat memahami dia. Dan saya akhirnya memutuskan untuk bisa menerima dia sebagai calon pendamping hidup saya kelak. Toh pada akhirnya perbedaan itu tidak akan menjadi masalah jika saya bisa menyikapinya dengan bijak. Untuk dasar itulah, saya berusaha untuk meyakinkan anggota keluarga saya yang tadinya kurang setuju dengan hubungan ini, bahwa dia benar-benar menyayangi saya dan keluarga dengan tulus. Dan untunglah, usaha saya berhasil. Mereka bisa menerima dia dengan sepenuh hati. Tanpa melihat perbedaan, karena mereka percaya dengan apa yang telah saya pilih.

Teman saya kemudian berbaring, menatap langit-langit hotel, sambil menghisap cigarettes-nya. Matanya menerawang jauh, tanpa saya mengerti apa yang dipikirkannya. Saya hanya menunggu dia untuk bersuara lagi. Meneruskan apa yang ada di balik kepalanya. Sesaat kemudian, sambil menghembuskan asap perlahan, mulai terdengar lagi suara dari bibir mungilnya.

Itulah jalan yang sudah saya pilih. Apapun yang terjadi saya akan tetap pada pilihan saya. Salah satunya saya harus bisa melupakan masa lalu saya yang sampai saat inipun masih setia ada di hati dan jiwa saya. Padahal saya sadar, dia pun tidak pernah memikirkan saya, mengapa saya harus capek-capek mengharapkan keajaiban dia akan kembali. Saya harus paksakan hati saya. Dan untunglah, saat itupun tiba. Tanpa sepengetahuan kekasih saya, saya membuat janji bertemu dengan masa lalu saya. Saya akan tentukan, apakah saya akan tetap terbelenggu atau saya akan lepas. Akhirnya, semua terjawab. Yang tadinya saya begitu berdebar-debar akan bertemu dengan masa lalu saya, mungkin karena saya masih ragu untuk kehilangan dia, ternyata disinilah itu semua berakhir. Tanpa beban dan perasaan sakit hati sama sekali, hati saya mengatakan, that’s all. Cukup sampai disini saya berharap, sudah semestinya saya membuka hati saya untuk orang lain. Ternyata saya sudah tidak mencintainya lagi. Saya juga tidak tau perasaan seperti itu muncul darimana, tiba-tiba hati saya bersuara untuk meninggalkan masa lalu yang sudah tidak penting lagi itu. Saya akan memilih menjalani hidup dengan dia yang kini sudah jelas mau menerima saya apa adanya, yang tanpa sadar sudah saya duakan cintanya selama ini. Dan saya berjanji untuk membalas rasa cinta dia yang begitu besar itu. Saya akan membahagiakannya.
Setelah pertemuan itu, hari-hari saya jalani dengan tanpa beban. Saya bisa berbagi suka dan duka dengan dia. Tanpa beban saya bisa menceritakan apa yang terjadi dalam hidup saya. Bahkan dengan dia saya bisa bercerita tentang keadaan keluarga saya, hal yang sangat jarang saya lakukan meski dengan sahabat sendiri. Saya bisa mengikut sertakan dia pada setiap acara keluarga saya. Saya bisa dengan bangga bisa memperkenalkan dia kepada teman-teman saya. Dan begitupun sebaliknya.
Dia juga mendukung apa yang saya akan perbuat. Selalu memberikan masukan yang terbaik bagi saya. Bahkan terkadang dia rela mengorbankan kepentingannya hanya karena ingin menyenangkan saya. Apapun yang saya ingini, dia selalu memberikan yang terbaik. Meski kadang-kadang keinginan saya tidak masuk akal, tapi dia selalu berusaha untuk mewujudkannya.

Teman saya berbalik menghadap saya, yang tanpa sadar saya pun ikut berbaring menatap langit-langit hotel, menirukan apa yang dia perbuat. Seketika saya pun berbalik untuk menghadap dia. Kali ini tanpa cigarettes seperti biasanya.

Untuk alasan itulah, akhirnya saya mendorong dia untuk membeli rumah, karena saya punya keinginan tidak mau menikah jika belum punya rumah. Jadi mumpung rencana pernikahan saya dan dia belum direncanakan secara detail, saya mengusulkan kalau sebaiknya tabungan yang ada dimanfaatkan untuk membeli rumah. Dan diapun setuju. Sebenarnya saya agak kaget, ketika mengatakan itu. Sebuah keinginan sebelum saya menikah. Berarti tanpa saya sadari hati saya sudah siap untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan. Dengan dia. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikir oleh saya.
Tanpa banyak pikir panjang, akhirnya dia mengajak saya untuk hunting lokasi perumahan yang akan saya dan dia tempati nanti. Setelah mencari kesana kemari, ketemulah satu rumah yang lokasinya sangat strategis, dan cukup nyaman untuk ditempati oleh keluarga kecil, untuk nantinya melihat pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Tidak terlalu besar, dan tidak pula terlalu sempit. Masih asri dan yang penting, halamannya luas, dan keamanan terjamin. Sesuai dengan yang saya dan dia inginkan, terlebih harganya juga sesuai dengan tabungan yang ada waktu itu.
Rumah sudah terbeli, saya dan dia pun punya jadwal setiap minggu untuk melihat perkembangan renovasi yang dilakukan. Saya dan dia juga kemudian disibukkan hunting berbagai macam barang dan pernak-pernik untuk calon istana kami. Sudah ada kesepakatan, bahwa saya lah yang akan diserahi tanggung jawab untuk mendesign interior dan eksterior rumah itu. Yah, memang sesuai dengan bidang pekerjaan yang saya geluti sekarang ini.
Satu tahun saya dan dia disibukkan oleh rumah itu. Dan akhirnya saya mulai ditanya oleh keluarga dia maupun keluarga saya, kapan saya akan menikah. Jujur, saat itu saya tidak bisa menjawab. Karena tidak ingin mengecewakan mereka, saya hanya bilang, silahkan diatur dan ditentukan waktunya saja.

Kali ini teman saya bangkit, dan mulai menenggak vodka serta menyalakan cigarettes-nya. Saya pun mengikuti dia dan duduk di sofa. Teman saya berdiri di depan balkon hotel. Matanya kembali menatap lampu-lampu nelayan yang tampak kecil di kejauhan.

Ketika bicara seperti itu, jujur, saya merasakan rasa yang sedemikian sesak. Entah datang darimana, tiba-tiba perasaan tidak yakin itu datang kembali. Memang, selama ini saya dan dia sering bertengkar, mungkin terlihat wajar, tapi ada beberapa permasalahan yang bersifat prinsip yang tidak terselesaikan. Dan ini masih membekas dalam hati saya. Saya belum siap menikah dengan dia. Itu intinya. Bukan karena ada orang ketiga, bukan karena juga saya masih mau bebas. Tapi karena memang masih ada perasaan yang tak terungkapkan.
Padahal semakin hari, tanggal pernikahan saya dan dia semakin dekat. Karena panic, saya berusaha untuk tidak memikirkannya dan berusaha untuk menghindar bila ditanya sejauh mana rencana yang ssudah saya dan dia persiapkan. Entah itu pertanyaan dari keluarga saya, ataupun dari keluarga saya. Saya hanya menjawab kalau tabungan belum cukup, sedang diusahakan lagi. Meski mereka dengan sukarela akan membantu dan sudah mempersiapkan untuk itu, saya tetap berkeras untuk tidak mau menerima bantuan orang lain.
Dan entah kenapa, hal ini jadi mempengaruhi hubungan saya dengan dia. Yang tadinya saya asyik menuangkan ide untuk mempercantik rumah, sekarang saya jadi tidak bersemangat. Hal-hal kecil bisa tiba-tiba menjadi hal yang sangat prinsip bagi saya. Apapun yang tidak berkenan di hati saya, bisa menjadi masalah besar yang bisa mengancam kelangsungan rencana pernikahan ini. Frekuensi berantempun jadi tambah sering. Dia jadi selalu salah dimata saya. Entah benar salah atau tidak, apapun yang dia katakan selalu negative di mata saya. Untuk itulah akhirnya dia cuma bisa diam dan mengingatkan saya untuk tetap bersabar dalam menghadapi cobaan ini.
Begitupun dengan para sahabat saya, mereka mengatakan hal yang sama. Kalau ini hanyalah cobaan bagi mereka yang sebentar lagi memutuskan untuk menikah. Tergantung dari masing-masing pribadinya, apakah bisa meneruskan rencana ini atau kalah dengan keegoisan mereka semata.
Saya coba camkan nasihat-nasihat itu, tetapi sekali lagi hati saya berontak, dan mengatakan bukan itu persoalannya. Hati. Itu dia. Ada hal-hal yang belum selaras dengan hati ini. Karena saya yakin, pernikahan hanya akan terjadi satu kali, kenapa tidak dipersiapkan sedemikian rupa, semantap mungkin?
Dan untuk alasan konyol inilah, saya memutuskan untuk meninggalkan dia. Entah untuk sementara atau untuk selamanya. Saya tidak bisa memastikan. Saya telah gagal mempertahankan apa yang selama ini sudah saya jalani. Saya lebih memilih untuk mengikuti kata hati saya. Entah kata hati saya sebelah mana, saya sendiri tidak paham. Mungkin itu hanya kedok saya yang tidak ingin dipersalahkan. Mungkin itu hanya alasan saya saja yang masih ingin terus mencari apa yang belum saya dapatkan. Saya tidak memikirkan perasaan dia, saya tidak memikirkan perasaan orang tua saya, saya juga tidak memikirkan perasaan orang tua dia. Saya hanya memikirkan diri saya sendiri. Saya sudah terlalu egois. Tapi, apa saya salah, kalau saya hanya ingin memantapkan hati saya sebelum semuanya terlambat?

Dan tiba-tiba saja teman saya duduk di sofa, memeluk saya dan meneteskan air mata. Ya, dia menangis. Meski saya sudah bersahabat sangat lama dengan dia, baru kali ini saya melihat dia menangisi sesuatu. Menagisi cinta. Dengan penuh perasaan, tanpa dibuat-buat. Saya peluk dia, saya usap punggungnya, sekedar untuk mengingatkan dia, bahwa ada saya disampingnya. Samara-samar saya masih mendengar dia melanjutkan ceritanya, dalam tangisannya.

Dan kamu tau, akhir dari semua itu? Saya menyesal melakukan itu semua. Baru saya sadari, ketika saya mengambil keputusan untuk keluar dari kota itu. Saya sangat mencintainya. Saya sangat membutuhkannya. Ternyata selama ini saya terlalu mengabaikan dia, karena saya sadar dia selalu ada untuk saya. Dan ketika sekarang saya sendiri, saya sangat merindukannya. Dia yang selalu ada untuk saya. Ketika saya sakit, ketika saya lemah, ketika saya tidak bisa berbuat banyak, dia tidak pernah tidak ada disamping saya. Saya tidak pernah meminta sesuatu, dia selalu tau apa yang saya butuhkan. Tanpa saya bicara, dia selalu tau apa yang saya inginkan. Tidak ada yang bisa menggantikan dia di hati saya. Bahkan beberapa orang yang mencoba untuk dekat dengan saya, tidak pernah ada yang bisa menandingi dia.
Saya hanya bisa menangis ketika ingat dia, saya hanya bisa menyesal ketika melihat foto dia yang sampai sekarangpun masih ada di dompet saya. Saya tidak sanggup untuk hidup tanpa dia. Hanya dia yang mampu melakukan itu semua untuk saya. Bahkan pada keluarga saya. Dan saya tau itu semua tulus, tanpa mengharapkan balasan apapun.
Ternyata, saya sangat mencintainya. Keputusan untuk meninggalkan dia adalah keputusan paling bodoh yang pernah saya buat seumur hidup saya.
Tanpa bisa saya tahan lagi, setahun lalu, saya kembali ke kota itu. Saya bertekad menyampaikan apa yang saya rasa. Saya tidak peduli apakah dia sudah menikah atau belum, saya hanya ingin bilang, saya menyesal, dan sebelum terlambat, saya akan bilang kalau saya sangat mencintainya. Sekaligus saya ingin meminta maaf kepada seluruh keluarga dia atas perbuatan yang sudah saya lakukan.
Sampai disana, saya diterima keluarganya dengan baik. Dan mereka memang sudah memaafkan saya jauh sebelum saya minta maaf. Mereka tau bahwa suatu saat saya akan kembali kerumah itu, rumah yang dulu menjadi impian saya dan dia.
Ketika saya bertanya, bagaimana kabar dia, apakah dia sudah menemukan belahan hatinya yang lain, apakah dia sudah bahagia sekarang, keluarga dia memeluk saya sambil mengatakan kalau dia memang sudah sangat bahagia. Saya hanya bisa menahan kecewa dan tangis. Bagaimanapun dulu adalah keputusan saya sendiri. Saya tidak akan menyalahkan orang lain lagi.
Dan ketika saya bertanya, apakah boleh saya meminta alamat dan no telepon yang bisa saya hubungi, bukan untuk merusak rumah tangganya, hanya untuk sekedar bertemu atau mendengar suaranya, keluarga dia mengatakan tidak bisa, karena dia sudah tiada. Dia mengalami kecelakaan ketika akan pergi ke bandara, mau menyusul saya di pulau ini. Setelah mendengar kabar kalau saya ada di pulau Bali, dia bertekad untuk mencari saya, untuk mempertanyakan kembali cinta saya, sama ketika dia pertama kali saya dan dia bertemu. Ya, di pulau inilah cinta dia tumbuh untuk saya, dan dia yakin pula jika di pulau inilah cinta saya masih tertinggal untuk dia.

Kali ini teman saya menangis, benar-benar menangis. Tanpa saya sadari, sayapun ikut menangis, merasakan apa yang teman saya rasakan. Terlalu pedih memang perjalanan cinta teman saya ini. Saya jadi teringat tentang hubungan saya dan kekasih saya akhir-akhir ini, yang kurang lebih hampir sama dengan teman saya ini, karena mendekati tanggal pernikahan saya. Banyak pertengkaran tidak penting yang terjadi. Dalam tangis, saya berucap kalau secepatnya saya ingin pulang, menemui kekasih saya, dan mengatakan saya sangat mencintainya dan tidak pernah ragu akan cintanya. Tiba-tiba teman saya berkata pelan kepada saya..

Untuk itulah saya ingin ketemu kamu sekarang, karena saya tau cerita kamu dan dia yang hampir sama dengan saya. Kalau boleh saya sarankan, lanjutkan rencana kalian, jangan pernah ragu dengan apa yang sudah kalian jalani. Jika ragu itu datang, mintalah petunjuk padaNya. Jangan kamu ikuti keegoisanmu itu. Cukup saya yang merasakan pedih ini. Dan cukup biarkan saya yang pernah menyesal melakukan ini semua. Lihatlah lagi bagaimana pertama kali kalian saling jatuh cinta. Rasakanlah lagi perasaan itu. Kuatkanlah. Saya berharap, kalian bisa terus bersama melawan tantangan ini.
Tidak ada yang salah dalam cinta. Karena itu percayalah pada cinta.

Dan kemudian teman saya itupun memeluk saya erat sekali. Dan tersenyum. Karena cinta. Sambil bernyanyi lagu dari Air Supply yang All Out of Love.


I'm lying alone with my head on the phone
Thinking of you till it hurts
I know you're hurt too but what else can we do?
Tormented and torn apart
I wish I could carry your smile and my heart
For times when my life seems so low
It would make me believe what tomorrow could bring
When today doesn't really know, doesn't really know
I'm all out of love, I'm so lost without you
I know you were right believing for so long
I'm all out of love, what am I without you
I can't be too late to say that I was so wrong
I want you to come back and carry me home
Away from this long lonely nights
I'm reaching for you, are you feeling it too
Does the feeling seem oh so right
And what would you say if I called on you now
And said that I can't hold on
There's no easy way, it gets harder each day
Please love me or I'll be gone, I'll be gone
Oh, what are you thinking of?
What are you thinking of?
Oh, what are you thinking of?
What are you thinking of?


Dedicated to Andi Manroe, wish you will get married soon, jangan terpengaruh ya sama cerita ini..

0 comments on "andai saja...."

Post a Comment

Sebelumnya Sesudah Home
 

My Blog List

Labels

Welcome

:: Isi Otak :: Copyright 2008 Shoppaholic Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez